Sabtu, 11 Februari 2012

Memperjelas Peran Intelektual

Oleh: Agus Mulyadi

Muchtar Buchori dalam Pendidikan Islam Transformatif mengatakan bahwa dunia “pendidikan islam di Indonesia sedang mengalami semacam krisis identitas dikarenakan lonceng kematiannya telah berdentang” (Mahmud Arief, 213: 2008). Kenapa dikatakan sedang mengalami krisis identitas? Hal ini lebih disinyalir karena dunia pendidikan kita (baca; Indonesia) saat ini sedang dalam kondisi mati enggan hidup pun tak mau meminjam istilah H.A.R Tilaar. Maksud dari ungkapan tersebut lebih dekat kepada makna kejumudan yang artinya dalam dunia pendidikan kita dewasa ini masih terjebak kepada romantisme yang mengakibatkan kemandekan dalam berfikir, berkreasi dan berinovasi. Maka oleh sebagian kaum cendikia terdidik pendidikan masa kini dianggap sebagai sebuah permasalahan yang sangat mendesak untuk dibenahi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Maka dari itu kemudian banyak bermunculan sebuah system pendidikan yang menawarkan wajah baru di bangsa ini. Maraknya sekolah-sekolah berbasis IT, sekolah terbadu, sekolah Unggulan, Program Khusus dan segabainya menjadi respon terhadap kegelisahan yang dirasakan oleh banyak kaum cndekia kita.
Model pendidikan yang diadopsi dari negeri seberang sudah layaknya ditutup untuk kemudian diganti dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Sudah pasti tentunya kebutuhan yang menyangkut kepentingan bangsa kita. Jika model pendidikan impor tersebut masih saja digunakan ditakutkan selamanya bangsa ini tidak akan bias menemukan identitasnya sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Bukanlah menjadi suatu hal yang imposibel untuk diwujudkan, sebuah model baru dalam dunia pendidikan kita. Pasalnya sudah tidak jarang dan sedikit lagi kaum intelek yang dimiliki oleh bangsa ini. Akankah selamanya bangsa ini menggantungkan harapannya kepada bangsa lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi bangsa kita? Jawabannya tentu tidak. Ilmuan berlimpah, agamawan berjubel-berjubel, peneliti dimana-mana akan menjadi sia-sia jika mereka-mereka ini tidak dimanfaatkan dan dioptimalkan sebaik mungkin.
Sedangkan Seorang Kunto Wijoyo pernah mengatakan bahwa peradaban manusia berjalan pada masanya. Artinya peradaban bangsa ini jika dikontekskan dengan Indonesia bergantung kepad orang-orang yang hidup dimasanya. Artinya jika peradaban kita tidak dibangun dan didinamisasikan dengan perkembangan zaman bukan tidak mungkin lonceng itu kan benar-benar berdentang keras dan meruntuhkan sendi-sendi peradaban bangsa. Untuk itu diperlukan semacam pendobrak, penggerak sekaligus pencerah sebagai inisiatif positif terhadapnya. Merekalah yang oleh banyak orang disebut dengan nama (Mahasiswa ) kaum intelek muda. 

Mahasiswa dan Peradaban Bangsa
            Mahasiswa atau intelektual muda dalam kaitannya dengan dinamika peradaban umat manusia berada dalam posisi yang sangat urgen sekaligus vital. Bagaimana tidak kepada merekalah harapan itu digantungkan yakni peradaban madani yang sesuai dengan kebutuhan zamannya.
            Kaum intelektual muda selain diakui sebagai kelompok intelektual yang terlatih dan mumpuni, mereka juga diakui dapat menggerakakn dan menentukan arah kemana peradaban bangsa akan dibawa. Walaupun tidak selamanya kaum cendekia lahir dari rahim institusi pendidikan. Ada juga beberapa orang yang termasuk kelompok cendekiawan namun dia bukanlah tamatan universitas maupun perguruan tinggi sebut saja Buya Hamka yang oleh seorang tipolog Harry J. Benda dijadikan permisalan dalam buku menuju masyarakat madani karya Azyumardi Azra. 
            Dikatakan sebagai pemegang kendali terhadap arah peradaban karena mahasiswalah atau kaum cendekialah yang mau tidak mau akan menggantikan pendahulunya untuk memegang tampuk pemerintahan. Tentunya kita berharap semoga saja kelompok ini masih mampu dan konsisten dalam memegang prinsip dan idealismenya walaupun kedepan iming-iming yang selama ini melenakan sebagaian orang seperti kekuasaan, jabatan, harta dan sebagainya dari produk modernisasi yang begitu gencar terlihat sehingga tidak sedikit dari manusia lalai dibuatnya.
            Selain itu virus kemapanan dikalangan mahasiswa ditakutkan juga akan menghambat proses dinamika peradaban. Karena dalam posisi yang seperti ini jamak kita lihat malah menjadikan kran kemajuan sebuah bangsa menjadi tersumbat. Untuk itu diperlukan sosok yang dapat mendobrak kondisi atau kultur semacam itu sehingga kran yang tersumbat dapat lagi mengalir dengan semestinya.
            Menarik untuk dilihat tulisan Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam buku Menuju masyarakat madani dikatakan bahwa kelompok ini oleh beliau disebut dengan istilah kaum cendekiawan baru yang lahir dari perut modernisasi. Lebih lanjut dikatakan, merekalah kaum cendekiawan hasil karya pendidikan modern, atau setidak-tidaknya dibesarkan didalam deru modernisasi.
            Kaum cendekiawan pada masa ini cenderung lebih kritis, analitis dan dalam batas tertentu juga dilengkapi dengan kerangka metodologis. Dengan bekal semacam ini kaum intelektual muda atau mahasiswa mempunyai bekal yang kuat untuk memerankan fungsi established order dalam bahasa Azyumardi Azra. Yakni sebagai pengkritis dan penggugat praktik-praktik kemapanan dalam pemerintahan.
            Kemudian dalam fungsinya sebagai motor penggerak peradaban maksudnya mahasiswa sebagai bagian dari kelompok cendekiawan muda harus turut andil memberikan sumbangsih real terhadap masyarakat. Selalu memperhatikan masyarakat dengan berbagai program mereka. Sehingga bias keberadaannya dapat betul-betul dirasakan oleh masyarakat. Mahasiswa harus benar-benar menjadi bagian dari masyarakat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Melakukan berbagai macam penelitian kemudian menganalisa segala permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk dicarikan jalan keluarnya. Tentunya dengan bekal intelektualitasnya sebgai kelompok cendekiawan. Dengan metodologis yang cermat dan pisau analisis yang tajam diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa.
            Dan yang tak kalah penting dalam perannya sebagai pencerah peradaban masyarakat. Kaum cendekiawan atau mahasiswa dalam hal ini jangan sampai terjebak dalam kubangan virus kemapanan yang dapat berakibat pada kejumudan dan matinya jiwa kritis dikalangan mereka. Maka dari itu mereka harus terus bergerak, berinovasi, dan berkreasi menciptakan hal-hal baru demi kemaslahatan umat jika tidak mau disebut sebagai kelompok Scientific masturbation dalam bahasa Azyumardi Azra yakni penikmat sains sendiri tanpa dipublikasikan atau ditransformasikan kepada masyarakat.. Selain itu juga sebagai pencerah dimaksudkan adalah melakukan sebuah gerakan atau tindakan nyata untuk menggugah kesadaran masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada lagi praktik-praktik penindasan, kesewenang-wenangan ditengah-tengah masyarakat kita.
            Tiga peran dan fungsi penting itulah yang harus dipegang oleh kaum cendekiawan atau sebut saja mahasisa agar peradaban bangsa selalu berjalan dinamis dan tidak lagi mengalami ketersumbatan oleh virus-virus kejumudan dan kemapanan.

Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam Prodi Tarbiyah
Universitas Muhammadiyah Surakarta
           

           
             



0 komentar:

Posting Komentar