Rabu, 15 Februari 2012

Bangsa Kita Mampu Bersaing

Oleh: Agus Mulyadi
Mobil Kiat Esemka karya anak negeri yang terakhir banyak dibicarakan memang patut untuk dibanggakan. Banyak kalangan menganggap itu sebagai awal kebangkitan otomotif dalam negeri. Walau ada juga yang mencibir, namun tidak terlalu signifikan. Dan yang lebih penting adalah prestasi ini sangat menjanjikan dan menandakan bahwa bangsa kita tercinta ini juga mampu bersaing dengan Negara-negara luar yang notabene sudah jauh berkembang. Maka dari itu sudah selayaknya karya anak negeri ini kita dukung baik materi maupun non-materi.
Harapan kedepan tentunya karya tersebut dapat difollow up-i, oleh pemerintah, dengan berbagai program pendampingan dan pengembangannya. Karena dengan karya-karya semacam inilah bangsa kita dapat memulai hidup mandiri tanpa adanya ketergantungan yang mencolok dari Negara luar. Sebagai contoh misalnya bangsa China dengan semangat nasionalismenya yang tinggi terhadap karya-karya putera bangsa pada akhirnya mampu bersaing dengan bangsa luar dan bahkan sekarang menjadi salah satu pusat perhatian dunia dengan perkembangan dibidang ekonominya yang terbilang sangat pesat.
Selain china ada lagi bangsa Asia India yang kini juga mulai mengalami kemajuan yang cukup besar dengan produk otomatifnya. Dan tentunya masih banyak lagi bangsa-bangsa lain yang patut kita contoh. Memang dukungan pemerintahlah yang akan menentukan gerak maju suatu bangsa dalam segala bidang. Yang tentunya dukungan masyarakat juga sangat penting sehingga terjadi dinamika dan sinergisme yang baik antara masyarakat dengan pemerintah dalam berkarya.
Dengan semakin menjamurnya karya putera-puteri bangsa menjadi sinyalmen tersendiri sekaligus bukti bahwa bangsa kita adalah bangsa yang siap dan mampu hidup mandiri tanpa campur tangan bangsa lain.
Penulis teringat dengan kata-kata Presiden Amerika Barack Obama yang mengatakan “Yes, We can” yang dalam versi Indonesianya kurang lebih adalah “ya, bersama kita bisa” dalam setiap kampanyenya. Kata-kata itu penuh dengan motivasi yang memberikan semangat baru dan harapan baru bagi warga Amerika saat itu. Apa yang dapat kita pelajari dari pesan tersebut jika dibenturkan dengan kemunculan Mobil Kiat Esemka rakitan anak negeri ini?
Pertama, kita patut berbangga dengan prestasi anak-anak muda yang berhasil menciptakan sebuah mobil dengan segala komponen yang hampir keseluruhannya adalah buatan lokal. Dikatakan dalam Joglosemar edisi senin, 9 Januari 2012 bahwa mulai dari desain Bodi hingga komponen mesin mobil Kiat Esemka ini hampir 80% buah tangan dan kreasi pelajar SMK.
Kedua, ini sebagai sebuah pertanda sekaligus motivasi bagi kita semua bahwa sesungguhnya bangsa ini bisa dan mampu bersaing dengan bangsa luar. Terbukti dengan kemunculan mobil Kiat Esemka ini. Dan yang lebih penting ternyata anak-anak/ pelajar SMK ini pada kenyataannya tidak hanya memproduksi mobil saja, mereka juga mulai  mengembangkan karyanya seperti laptop dan sepeda motor.
Ketiga, semua itu tidak akan pernah terwujud jika tidak ada dukungan dan kerjasama semua elemen bangsa, maka dari itu seperti kata Brack Obama diatas semua warga dan juga pemerintah harus bersama-sama mendukung karya tersebut dan dapat diakui oleh bangsa lain.
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tarbiyah/ FAI
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Butuh Dukungan Bukan Cibiran

Oleh: Maria Ulafa
Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar nama Kiat Esemka saat ini? Pastinya bangga dan berharap itu dapat ditindak lanjuti kedepannya. Kiat Esemka adalah nama yang dilekatkan pada sebuah mobil yang berhasil dirakit oleh pelajar SMK yang dimilki bangsa ini. Mereka berhasil mengukir prestasi yang membanggakan Prestasi seperti ini tentunya patut diberikan sebuah apresiasi yang tinggi serta dukungan yang lebih oleh pemerintah dan masyarakat luas. Agar anak-anak muda seperti ini kian bersemangat dan termotivasi dalam menorehkan prestasi-prestasi kedepannya.
Sikap Wali Kota Solo Jokowi yang ingin menggunakan mobil Kiat Esemka hasil karya anak-anak bangsa ini harus kita dukung. Jika perlu seluruh pejabat dianjurkan untuk menggunakan mobil tersebut. Terlepas dari apa yang menjadi latar belakang Jokowi sebagai seorang Wali Kota menggunakan mobil tersebut, yang jelas memang sebagai seorang pemimpin sudah sepatutnya mendukung setiap karya yang telah dihasilkan oleh putera-puteri bangsa, seperti mobil Kiat Esemka ini misalnya atau yang lainnya. Sehingga anak-anak muda saat ini dan masa depan akan lebih termotivasi untuk ikut berkarya sebagaimana pendahulu mereka.
Memang seiring dengan munculnya mobil Kiat Esemka, dan kemudian ditambah lagi dengan sikap Wali Kota Solo tersebut pada akhirnya menimbulkan banyak reaksi yang mengarah kepada pro dan kontra. Seperti sikap Gubernur jawa Tengah yang terlihat kurang begitu suka atas hal tersebut. Dengan nada cemburu sembari mencibir Wali Kota Solo ia berkarta bahwa “itu adalah bagian dari maneuver politik pak Jokowi dalam membangun citranya/ cari muka” (Joglosemar, Kamis, 5 Januari 2012).
Terlepas dari itu semua, yang perlu kita garis bawahi dan ditekankan adalah bahwa ini adalah prestasi putera-puteri bangsa yang patut untuk didukung dan banggakan bukan malah melemparinya dengan cibiran-cibiran yang sebenarnya tidak mendasar apalgi dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin bagi masyarakatnya.
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Agama Islam Jurusan Syari,ah UMS

DPR Edan Rakyat Kebingungan

Oleh: maria Ulfa
Ronggo Warsito dalam Jejak Sambi Leginya pernah mengatakan “Hidup di zaman edan, gelap jiwa bingung pikiran, turut edan hati tak tahan, jika tidak turut batin merana dan penasaran”, nampaknya yang dimaksudkan beliau kian manmpakan kepada kejelasan. Begitu juga para wakil rakyat yang mulai terlihat gelagat aslinya yang suka bermewah-mewahan, gaya hidup glamour, bahkan ada yang mengatakan cenderung hedonis. Hal ini mungkin menjadi biasa jika dilakukan oleh orang yang biasa-biasa saja akan tetapi menjadi heboh dan luar biasa tidak wajar jika dibenturkan dengan status mereka sebagai wakilnya rakyat yang nangkring digedung dewan. Bagaimana bisa para wakil ini berbuat demikian? Salah satunya adalah karena naluri sudah tidak lagi digunakan dan nafsu menjadi komandonya, sehingga menjadi sangat wajar jika tingkah laku dan perangai mereka menjadi seperti itu.
Nampaknya mereka yang berada digedung dewan ini tidak lagi mempunyai rasa malu dan tidak belajar dari kesalahanya. Tahun yang lalu mereka disibukan dengan agenda plesiran plus proyek Spa dan kolam renangnya yang mewah, kali ini mereka mulai lagi begitu bersemangat melakukan glamorisasi gedung dewan. Mulai dari parkir, toilet hingga ruang sidang yang super mewah.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pantas hal itu dilakukan pada saat sebagian masyarakat kita didaerah timur sedang menangis darah menahan anarkisme aparat, di daerah lampung dengan tragedy meuseji yang belum menemui titik terang, TKI, hingga keadilan yang menjadi langka bagi masyarakatnya?Apakah mereka memang benar-benar sudah “Edan” seperti yang digambarkan Ronggo Warsito diatas? Jika sudah demikian yang terjadi apa masih pantas mereka kita percaya?
Penulis adalah Mahasiswa Syari’ah/ Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Hukum Seharusnya Netral

Oleh: Agus Mulyadi
Permasalahan penegakan hukum terakhir ini benar-benar telah merampas hak-hak masyarakat sebagai rakyat kecil, penegakan hukum tidak lagi menggubris undang-undang yang seharusnya berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Hukum malah terkesan sering menabrak tatanan yang telah dibangun selama ini. Sebagai contoh, kasus karupsi yang menjerat beberapa pejabat misalnya, kasus yang menggemparkan partai penguasa Nazarrudin, nunun Nurbaeti, rekening gendut di kalangan PNS, pembantaian di Mesuji, tragedy sandal Jepit di sulawesi hingga tragedy pisang di Cilacap. Adalah potret buram penegakan hukum di Negara ini.
Jika merujuk kepada ucapan Satjipto Rahardjo, dikatakan bahwa perlu adanya sebuah usaha rekonseptualisasi hokum memang perlu, dengan alasan dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistik-politifistik, artinya dengan bahasa yang singkat hukum belum berada pada posisi yang netral, merakyat dan cenderung mudah dipolitisasi oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab jika tidak mau dikatakan amoral. Lebih lanjut Satjipto mengatakan dengan yakin bahwa hukum itu tidak saja berada didalam kitab-kitab/ literatur hokum saja, akan tetapi ia juga harus hidup ditengah-tengah masyarakat yang haus akan keadilan ini.
Dari apa yang diungkapkan oleh bapak Satjipto tersebut dapat kita pahami bagaimana seharusnya hukum itu ditegakan dengan sepnuh-penuhnya untuk merealisasikan rasa keadilan yang didambakan oleh rakyat bukan malah dijadikan sebagai komoditas politik para aristokrat. Artinya keadilan itu harus benar-benar terealisasi bagi semua masyarakat tanpa ada perbedaan. Baik rakyat biasa, miskin atau pejabat Negara jika memang melanggar hokum harus diproses sesuai asas hokum yang netral dan berkeadilan. Jangan tebang pilih atau dibeli dengan sejumlah rupiah.
Kita semua sepakat bahwa keadilan itu adalah hak setiap warga bukan sebagian warga atau pejabat saja. Untuk itu sewajarnya praktik penegakan hukum harus dijalankan dengan sebenar-benarnya, adil, merakyat berperikemanusiaan dan berperikeadilan serta bersifat netral terhadap siapa saja yang melanggar aturan hukum.
Dalam kurun waktu yang hampir tiga tahun ini kinerja pemerintah dalam hal supremasi hukum masih belum maksimal dan masih meninggalkan banyak lubang terkhusus penegakan hukum bagi para penyandang kasus karupsi, kolusi, hingga pungli. Pada kasus-kasus tersebut penegakan hukum masih terlihat malu-malu dan kikuh pekewuh padahal dampak dari perbuatan mereka sangat merugikan bangsa dan Negara.
Jika dibandingkan dengan sejumlah kasus yang melibatkan rakyat kecil atau masyarakat bawah begitu jelas terlihat ketimpangannya. Kasus yang paling anyar misalnya kasus pencurian sandal di Sulawesi yang berujung pada vonis hokum 5 tahun penjara kurungan dan juga kasus pencurian pisang oleh orang yang mengalami keterbelakangan mental menjadi bukti nyata bagaimana hukum di Negara kita masih belum ditegakkan dengan nilai-nilai keadilan yang netral. Hukum menjadi buta dan tuli jika dihadapkan dengan rakyat biasa, berbeda dengan kasus hukum yang melibatkan kaum elit Negara kita. Bagi mereka hukum adalah uang bias diatur asal ada uangnya. Bukan begitu?
Maka tugas berat diawal tahun ini harus benar-benar direfleksi dan direnungi agar dalam sisa waktu kepemimpinan pemerintah ini kedepan dapat benar-benar berjalan sesuai dengan jargon yang mereka usung. Yakni terwujudnya tatanan Negara yang menjunjung tinggi hukum, berkeadilan, makmur dan sejahtera. 
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Jalan Terakhir Pilihan Sondang

Oleh: Agus Mulyadi
Sebagai mahasiswa tentunya kita masih ingat betul tragedi bakar diri oleh seorang mahasiswa Hukum UBK di depan istana merdeka. Aksi semacam itu menjadi pilihan terakhir bagi seorang Sondang yang juga seorang aktivis dan mahasiswa. Karena berbagai jalan sudah ditempuh dan dilakukan para mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya, akan tetapi semua itu hanya ditanggapi dingin oleh pemerintah yang terlihat sombong dan jumawa terhadap rakyatnya. Seakan lupa dari mana kekuasaan itu mereka dapatkan. Pemerintah telah lalai dan juga melupakan rakyatnya.
Pro dan kontra atas aksi yang dilakukan sondang pun tidak dapat dihindarkan. Ada banyak kalangan yang beranggapan bahwa aksi semacam ini patut diberikan acungan jempol kalau perlu sepuluh jempol dan ada juga yang mengatakan aksi demikian itu tidak manusiawi dan cenderung anarkis extrem. Terlepas dari semua anggapan tersebut ada satu kesepahaman yang sama yakni reaksi atas kekecewaan terhadap kinerja pemerintah dalam konteks saat ini pemerintah SBY-Boediono.
Memang harus diakui pada masa pemerintahan kali ini banyak kasus-kasus yang sangat merugikan rakyat dan juga Negara sendiri. Seperti karupsi yang menjangkiti kalangan pejabat, keadilan yang tidak merata, pendidikan yang kurang maju, hingga kekerasan-kekerasan berkedok agama menjadi suguhan sehari-hari bagi masyarakat kita. Akankah pemerintah terus menutup mata dan telinga akan realitas semacam ini?
Melihat realitas yang terjadi ditengah karut marut dinamika perpolitikan bangsa ini Sondang dengan jalannya tersebut bermaksud untuk menggugah mata hati pemerintah yang dianggap gagal menjalankan pemerintahannya. Ia mungkin terinspirasi oleh aksi bakar diri yang dilakukan oleh Mohamed Bouazizi di Tunisia. Bedanya aksi di Tunis berakhir dengan turunnya Presiden Ben Ali, sedangkan aksi sondang kurang begitu mendapat respon dari kalangan mahasiswa sendiri, pada akhirnya terkesan hanya berakhir dengan kesia-siaan saja.
Tentunya bagi kita akan berfikir dua kali untuk melakukan aksi seperti yang telah dilakukan saudara Sondang. Bukan maksud tidak mendukung atas aksi-aksi yang sering dilakukan oleh mahasiswa akan tetapi cara yang diambil dan dipilih sondang dengan membakar diri sendiri menurut penulis kurang tepat dan tidak patut untuk ditiru. Masih banyak cara lain yang lebih elegan, intelek dan mendidik masyarakat tentunya. Misalkan aksi damai, aksi dengan media cetak dan lain sebagainya. Kami pikir itu menjadi lebih intelek dan tidak ada unsur anarkisnya.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam Jurusan Tarbiyah
Universitas Muhammadiyah Surakarta.