Rabu, 15 Februari 2012

Hukum Seharusnya Netral

Oleh: Agus Mulyadi
Permasalahan penegakan hukum terakhir ini benar-benar telah merampas hak-hak masyarakat sebagai rakyat kecil, penegakan hukum tidak lagi menggubris undang-undang yang seharusnya berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Hukum malah terkesan sering menabrak tatanan yang telah dibangun selama ini. Sebagai contoh, kasus karupsi yang menjerat beberapa pejabat misalnya, kasus yang menggemparkan partai penguasa Nazarrudin, nunun Nurbaeti, rekening gendut di kalangan PNS, pembantaian di Mesuji, tragedy sandal Jepit di sulawesi hingga tragedy pisang di Cilacap. Adalah potret buram penegakan hukum di Negara ini.
Jika merujuk kepada ucapan Satjipto Rahardjo, dikatakan bahwa perlu adanya sebuah usaha rekonseptualisasi hokum memang perlu, dengan alasan dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistik-politifistik, artinya dengan bahasa yang singkat hukum belum berada pada posisi yang netral, merakyat dan cenderung mudah dipolitisasi oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab jika tidak mau dikatakan amoral. Lebih lanjut Satjipto mengatakan dengan yakin bahwa hukum itu tidak saja berada didalam kitab-kitab/ literatur hokum saja, akan tetapi ia juga harus hidup ditengah-tengah masyarakat yang haus akan keadilan ini.
Dari apa yang diungkapkan oleh bapak Satjipto tersebut dapat kita pahami bagaimana seharusnya hukum itu ditegakan dengan sepnuh-penuhnya untuk merealisasikan rasa keadilan yang didambakan oleh rakyat bukan malah dijadikan sebagai komoditas politik para aristokrat. Artinya keadilan itu harus benar-benar terealisasi bagi semua masyarakat tanpa ada perbedaan. Baik rakyat biasa, miskin atau pejabat Negara jika memang melanggar hokum harus diproses sesuai asas hokum yang netral dan berkeadilan. Jangan tebang pilih atau dibeli dengan sejumlah rupiah.
Kita semua sepakat bahwa keadilan itu adalah hak setiap warga bukan sebagian warga atau pejabat saja. Untuk itu sewajarnya praktik penegakan hukum harus dijalankan dengan sebenar-benarnya, adil, merakyat berperikemanusiaan dan berperikeadilan serta bersifat netral terhadap siapa saja yang melanggar aturan hukum.
Dalam kurun waktu yang hampir tiga tahun ini kinerja pemerintah dalam hal supremasi hukum masih belum maksimal dan masih meninggalkan banyak lubang terkhusus penegakan hukum bagi para penyandang kasus karupsi, kolusi, hingga pungli. Pada kasus-kasus tersebut penegakan hukum masih terlihat malu-malu dan kikuh pekewuh padahal dampak dari perbuatan mereka sangat merugikan bangsa dan Negara.
Jika dibandingkan dengan sejumlah kasus yang melibatkan rakyat kecil atau masyarakat bawah begitu jelas terlihat ketimpangannya. Kasus yang paling anyar misalnya kasus pencurian sandal di Sulawesi yang berujung pada vonis hokum 5 tahun penjara kurungan dan juga kasus pencurian pisang oleh orang yang mengalami keterbelakangan mental menjadi bukti nyata bagaimana hukum di Negara kita masih belum ditegakkan dengan nilai-nilai keadilan yang netral. Hukum menjadi buta dan tuli jika dihadapkan dengan rakyat biasa, berbeda dengan kasus hukum yang melibatkan kaum elit Negara kita. Bagi mereka hukum adalah uang bias diatur asal ada uangnya. Bukan begitu?
Maka tugas berat diawal tahun ini harus benar-benar direfleksi dan direnungi agar dalam sisa waktu kepemimpinan pemerintah ini kedepan dapat benar-benar berjalan sesuai dengan jargon yang mereka usung. Yakni terwujudnya tatanan Negara yang menjunjung tinggi hukum, berkeadilan, makmur dan sejahtera. 
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 komentar:

Posting Komentar