Sabtu, 02 Juli 2011

Mahalnya Kejujuran di Negri Adiluhung

Oleh: Maria Ulfa
Lagi- lagi wajah pendidikan tercoreng, mulai dari skandal, korupsi dan kini kecurangan dalam Ujian. Memang sekilas bukan suatu hal yang langka bagi kita, namun kali ini benar- benar keterlaluan. Sekolah dasar (SD) II Gadelsari Surabaya Jawa Timur bukan mengajarkan anak didiknya untuk berlaku jujur malah kebalikannya. Siswa dipaksa untuk memberikan contekkan kepada teman- temannya hanya untuk sebuah nilai yang berupa angka- angka.
Kasus ini patut disayangkan. Sosok guru yang semestinya memberi contoh yang patut untuk ditiru dan bekal kejujuran pada anak didik justru mengajarkan tindakan tidak terpuji. Mencontek, apa pun alasannya tetap tidak bisa dibenarkan apalagi dibangsa yang sudah lama merindukan sebuah budaya jujur yang pada zaman ini sudah semakin sulit ditemukan. Sekolah kurang optimal menjadi motor penggerak dalam penanaman moral dan nilai- nilai, karena ternyata di sekolah mereka justru diajari berbohong. Benar- benar satu hal yang menilukan dan mengharukan serta tidak sesuai dengan cita- cita luhur dari pendidikan.
Alifa ahmad maulana adalah anak kecil yang memberikan pelajaran berharga bagi bangsa ini. Kejujurannya seakan mendobrak sebuah budaya palsu yang dari dulu seakan dibiarkan begitu saja. Yang akibatnya moral bangsa dipertaruhkan. Lahirnya koruptor, penipu, pemalsu dokumen juga lahir dari sebuah ketidak jujuran.
Kejujuran Di Negri Adigang Adigung Adiguna
            Kejujuran telah memakan korbannya. Kali ini bukan pejabat atau politisi yang menjadi mangsanya. Siami dan putranya adalah korban dari sebuah kejujuran. Dengan kejujurannya Siami bukannya didukung oleh masyarakat dan tetangganya malah diusir karena telah melaporkan kecurangan dan ketidak jujuran yang dilakukan oleh sekolah tempat anaknya menempa ilmu. Siami muncul bak kartini di era topeng dan penuh kepalsuan ini.
Kartini baru ini patut diacungi sepuluh jempol karena tindakannya tersebut. Selain bertaruh demi tegaknya kebenaran dan kejujuran ia rela diusir dari kampung tempat ia bercengkerama dengan sanak famili. Namun bukan siami kalau mencabut pernyataan dan laporanya terkait kasus contek massal di SD II Gadel tersebut ia malah berharap kejujuran harus ditegakkan dimanapun dan kapanpun. Ini sungguh tamparan pelak bagi institusi pendidikan dan pemerintah serta pelajaran berharga bagi kita semua. Kalau perlu penghargaan yang tinggi sepatutnya diberikan kepada sosok siami.
Hal ini sesungguhnya teguran sekaligus peringatan bagi kita yang semakin jauh dari nilai- nilai dan moral yang baik. Bangsa ini semakin sombong dan jauh dari masyarakatnya. Sampai muncul sebuah ungkapan yang menggelitik ”Klepon Juruh Gulo Jawi, Klakon Lungguh Kowe lali” kritik tersebut bila dicermati dengan seksama. Kurang lebih masyarakat ingin para wakil rakyat, pejabat, dan jajarannya itu tidak melupakan begitu saja tetesan keringat rakyat yang diperjuangkannya dahulu. Ketika belum menjabat seakan begitu dekat dan memperhatikan wong cilik akan tetapi ketika sudah masuk di dalam lingkaran kekuasaan mereka kalap dan lupa, rakus dan tamak memakan segalanya.
Kalau sudah demikian maka pantaslah pribahasa “karena setitik nila rusak susu sebelanga”. Jika pemerintah tidak mau dikatakan gagal maka berkacalah. Mana janji- janji manismu? Kemiskinan, kesejahteraan, pendidikan, lapangan kerja dan setumpuk Pekerjaan Rumah belum juga dapat diselesaikan. Rakyat sebenarnya tidak tuli dan melihat semua kebohongan yang terjadi. “gerakan sadar hukum” nampaknya sangat diperlukan selain kejujuran dan keadilan untuk  kemudian memperbaiki semua kesalahan- kesalahan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Sosok Siami semoga bisa menjadi teguran sekaligus contoh untuk selalu menebar kejujuran dimanapun dan kapanpun. Karena bangsa yang pongah tidak akan pernah merasakan kesejahteraan. Kiranya itu yang sekarang terjadi di negeri ini. Bangsa ini sombong akan nikmat yang Tuhan berikan. Bangsa ini jumawa dengan segudang korupsi (nirprestasi ). Ungkapan ini ditujukan kepada pemerintah yang sombong lagi congkak, tidak lagi mau mendengar jeritan dan tuntutan rakyat kecil. Hanya dengan demokrasi dan penegakan hukum tanpa pandang bulu yang bisa mengobatinya. Bangsa yang apabila sudah terjangkiti virus seperti ini hanya akan memikirkan kepentingan pribadi dan golongan.  Sesuai dengan kondisi pejabat, politisi serta penegak hukum di negeri ini.
Kejujuran seakan menjadi barang langka di negri ini. Negri “adigang adigung adiguna”, sebutan yang dirasa pas untuk Indonesia saat ini. Seakan negri yang besar ini sedang mengalami kebingungan dan sakit. Demokrasi yang membingungkan dan sakit, keadilan dan kejujuran yang juga membingungkan dan juga sakit. Pemerintahan yang sakit dan penuh kepalsuan membuat rakyat menjadi semakin kebingungan.
            Sebaiknya pemerintah segera berkaca dan tidak malu untuk mencontoh seperti apa yang dilakukan oleh Nyonya Siami dan putranya Alifa. Kampanye kejujuran harus lebih massif digalakkan oleh pemerintah. Mulai dari grassroot ditingkat desa kecamatan hingga pusat dengan harapan Indonesia bias terlepas dari keterkungkungan krisis baik moral dan financial.
Kali ini SBY harus benar- benar memimpin didepan bukan omongannya yang didepan karena masyarakat tidak membutuhkan bualan dan gombalisasi namun lebih dari itu adalah “realisasi” yang sifatya lebih nyata dan massif serta bisa dirasakan rakyat kecil. Dengan dukungan lembaga hokum yang ada bersama membasmi korupsi.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam Jurusan Syari’ah,
 Universitas Muhammadiyah Surakarta

0 komentar:

Posting Komentar