Sabtu, 02 Juli 2011

Kongres PSSI atau Pameran Putri Solo?

Oleh: Agus Mulyadi

Seusai kembalinya Komite Normalisasi dari kantor pusat FIFA di swiss seakan pecinta dan penikmat sepak bola tanah air bisa sedikit bernafas lega. Komite normalisasi berhasil menjinakan FIFA untuk tidak memberikan sanksi atas gagalnya pelaksanaan kongres yang berlangsung di Jakarta itu. Dengan segala jurusnya Komite ini memutar otak untuk mencari celah sekaligus menjelaskan atas kegagalan kongres tersebut.
Terlepas dari itu semua yang jelas sekarang seluruh masyarakat pecinta bola tanah air merasa lebih tenang karena sanksi dari FIFA urung diberikan kepada Indonesia. FIFA memberikan kesempatan untuk yang ketiga kalinya bagi Indonesia dalam hal ini PSSI agar melaksanakan kongres yang akan memilih ketua dan wakil ketua umum serta anggota komite ekskutif PSSI .     
Ada beberapa tempat yang menjadi usulan tempat pelaksanaan kongres yang katanya luar biasa ini salah satunya adalah solo/ surakarta, jawa tengah. Yang mana dipandang sebagai daerah yang jauh dari kepentingan politis. Netralitas solo sebagai wacana untuk menggelar kongres pun ditanggapi dengan baik oleh Jokowi sebagai walikotanya.
Beragam setrategipun diatur sedemikian rupa demi kelancaran kongres yang tentunya sesuai dengan kesepakatan dalam rapat bersama Komite Normalisasi PSSI. Sejumlah aparat keamanan akan dikerahkan bersama masyarakat pecinta bola tanah air. Namun yang menjadi pertanyaan adalah rencana walikota solo untuk mengerahkan sejumlah putri solo sebagai alat peredam panasnya atmosfer yang digambarkan dalam kongres. Hal ini dengan berbagai alasan apapun tetap tidak dibenarkan, pasalnya perempuan dalam hal ini puteri solo hanya dijadikan komoditas politik dalam percaturan politik yang terjadi dalam kongres PSSI. Selain itu hal ini bisa dikatakan mengingkari cita- cita demokrasi yang mana perempuan seharuskan dilindungi secara fisik, mental dan kejiwaannya dari beragam bentuk eksploitasi dan diskriminasi malah dijadikan sebagai komoditas politik yang akrab dengan konflik dalam kongres PSSI di kota solo tanggal 9 Juli mendatang.
Kongres Puteri solo
Hiruk pikuk perjalanan arus reformasi ditubuh PSSI ini bisa dibilang banyak menarik perhatian public khususnya pecinta dan penggila bola tanah air. Mulai dari dominasi partai politik, korupsi, liga yang kurang bagus, pengaturan skore dan sebagainya dinilai menjadi pemicu kegelisahan masyarakat. Dikooptasi oleh sekelompok orang yang haus dan gila jabatan dengan nyaris tidak ada prestasi sama sekali membuat masyarakat bola mulai merasa jenuh dan frustasi akan kepengurusan PSSI (versi lama). Mereka menginginkan perubahan yang mendasar di dalam tubuh PSSI demi kemajuan dan perkembangan sepak bola Indonesia.
Lagi- lagi kembali kepada rencana walikota solo yang akan mengerahkan pasukan cantiknya dinilai kurang etis dan pas selain mendiskreditkan martabat wanita juga ditakutkan substansi dari kongres PSSI pun semakin jauh dari yang diinginkan. Dengan menjual keindahan dan kecantikan para puteri solo apakah bukan berarti menjadikan wanita dalam konteks ini sebagai objek eksploitasi dan pelecehan?!. Bila ini yang terjadi bukan tidak mngkin PSSI kedepan akan tidak jauh beda dengan kepengurusan yang sebelumnya. Karena kurang mempertimbangkan substansi dan pesan masyarakat bola tanah air yang menginginkan kepengurusan PSSI kedepan bersih dan bebas dari segala kepentingan- kepentingan yang sifatnya sangat politis. 
Betul memang kongres luar biasa PSSI yang rencana akan diselenggarakan di solo ini merupakan tugas yang amat berat dan selain pamungkas harus menemukan satu titik kesepahaman diantara banyak pemilik suara. Jika gagal sanksi telah menanti. Namun akankah kemudian dengan menjadikan sosok puteri solo yang sudah barang tentu cantik, molek, dan tentunya menggiurkan mata kaum adam bisa dibenarkan secara etika.
Tetap saja hemat penulis ini sebuah penjajahan model baru untuk gender. Yang mana seharusnya perempuan dijunjung tinggi dan dihormati disini mereka dengan berkedok puteri solo dipaksa turut serta dalam hiruk pikuk dan kerasnya kongres nanti. Selain itu apakah mereka sudah lupa pesan dari demokrasi yang sedang mereka perjuangkan dahulu. Demokrasi akan selalu mengutamakan kepentingan bersama bukan memaksakan kepentingan pribadi atau kelompok. Demokrasi selalu mengajak duduk bersama dengan bingkai musyawarah untuk mencari mufakat bukan mencari laknat. Dan bukankah demokrasi selalu memikirkan kesejahteraan rakyat bukat memiskinkan rakyat. kesemuanya itu memang tidak akan mungkin bisa terwujud jika semua elemen terkait tidak mau berfikir arif, santun dan bijaksana dalam menyelesaikan keruwetan PSSI.
Penulis dan tentunya segenap masyarakat hanya bisa berharap jangan sampai citra kota solo yang santun dan beradab tidak ternoda dengan rencana bapak walikota memanfaatkan keindahan dan kemolekan puteri solo sebagai alat politik dalam kongres nanti. Paradigma bahwa wanita sudah dianggap sebagai “barang dagangan” sejak lama, bahkan eksploitasi wanita dalam berbagai bentuknya bisa berubah menjadi pemaknaan terhadap wanita yang lebih positif. Walaupun bisa saja dibenarkan dalam dunia politik misalkan, namun bukan dengan menjual puteri solo sebagai komoditas politik dibenarkan, sebab puteri solo adalah symbol penghormatan terhadap kaum perempuan yang mana mereka dalam kehidupannya menjadi contoh sekaligus panutan bagi kaum perempuan.   
Penulis adalah mahasiswa fakultas agama islam, jurusan Tarbiyah,
Universitas Muhammadiyah Surakarta

0 komentar:

Posting Komentar