Kamis, 07 Juli 2011

Fenomena Surat Palsu (Aspal alias Asli tapi Palsu) Ditubuh Mahkamah Konstitusi

Oleh: Agus Mulyadi

Kisruh surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pemilu Legislatif (Pileg) yang sudah lama berlalu kini mulai diungkit dan dirasa memanas. Para pejabat, birokrat terkait dan sejumlah politisi mulai sibuk mengumpulkan alat bukti. Yang tentunya tidak lain dan tidak bukan untuk memenangkan kasusnya. Sikut kanan sikut kiri, mau menang sendiri, tidak mau kalah  itu yang terjadi yang penting bagi mereka bisa segera mungkin terlepas dari kubangan aspal (Asli tapi Palsu) ini.
Surat palsu yang dijadikan dasar oleh KPU dalam menetapkan hasil Pileg 2009 kala itu terkait sengketa perolehan suara calon anggota legislatif (caleg) daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Selatan Dewi Yasin Limpo yang notabene adik kandung Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo menyeret sejumlah nama yang diduga tersangkut pemalsuan surat tersebut. Sebut saja Andi Nurpati Salah satu kader partai besar Demokrat telah diduga tersangkut dalam kasus ini. Dikarenakan ia sebelum menjabat dalam kepengurusan partai tidak lain adalah pimpinan KPU untuk Pemilu 2009/2014.
Menjadi perhatian ribuan pasang mata dikarenakan sebelum kasus ini mencuat kepermukaan salah satu kader Demokrat juga terseret dalam kasus suap pengadaan gedung Wisma Atlet di palembang. Sontak hal ini membuat kaget bukan karena apa- apa namun sejumlah kasus tersebut seakan kontras dengan jargon yang diususng partai ini. “katakana tidak untuk korupsi!” mulai diperdebatkan dan dipertanyakan komitmennya.

Kredibilitas MK dipertanyakan
air mata darah telah tertumpah, demi ambisi membangun negri, kalaulah ini pengorbanan tentu bukan milik segelintir orang, belum cukuplah semua ini? apakah tidak berarti? Lihatlah wajah ibu pertiwi, pucat letih dan sedihnya berkarat setengah mati berdoa terus berdoa” kritik seorang Iwan Fals untuk para negarawan dan birokrat yang katanya ingin membangun negri ini namun rakyat tidak bisa merasakan apalagi menikmatinya.
Tragis benar nasib bangsa ini. Kapan kiranya rakyat benar- benar merasakan nikmatnya hidup di negri yang kaya ini. Bukan janji dan janji saja
Kembali kepada permasalahan awal, banjir aspal ditubuh MK menjadi begitu menarik. Karena jika tidak segera ditindak lanjuti kredibilitas Mahkamah Konstitusi tadi taruhannya. Bagaimana mungkin keadilan bisa didapat, hukum bisa ditegakan, jika ternyata document Negara pun untuk pemilihan anggota legislatife saja sudah berani dipalsukan? Bagaiman dengan pemilihan presiden?
 Kalau dari pemilihan saja sudah tidak jujur alias palsu menjadi hal yang wajar bila dalam perjalanan demokrasi menjadi compang camping dan terlihat tidak kokoh apalagi kuat. Demokrasi seakan hanya dijadikan kedok untuk mengeruk uang rakyat dan ajang pemalsuan surat.
Aroma politik tercium kental dalam kasus pemalsuan dukumen MK ini. Baik dari dalam MK sendiri KPU, BAWASLU, maupun pejabat, birokrat dan juga politisi yang berkepentingan. Ancaman runtuh pemerintahan pun semakin mendekati. Gelap dan suram karena penegak hokum tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. Semua dibungkus dengan kepentingan- kepentingan politis.
Jika sudah unsur politik yang bicara nafsu menang sendiri yang terlihat. Semua pihak tidak mau mengalah, kejujuran dan kebenaran menjadi barang langka dan mungkin tidak akan terwujud di negri seribu satu kepalsuan. Bagiaman Demokrasi bisa berjalan kalau roda Demokrasi masih cidera?!.
Demokrasi yang penuh dengan kepalsuan seakan melekat pada bangsa ini. Jeratan suap, korupsi, kolusi begitu nyaman berkembang di Negara ini. Aparat penegak hukum seakan tidak punya gigi dalam penangan sejumlah kasus ketika dihadapkan dengan sejumlah uang. KPK pun sekarang mulai jauh panggang dari api. Padahal dahulu lembaga ini salah satu lembaga penegak hokum yang ditakuti di negeri ini, namun entah kenapa akhir- akhir ini kurang begitu menggigit dan terlalu santun menangani kasus- kasus yang menimpa sejumlah birokrat dan pejabat.. 
Sudah seharusnya semua pihak bersatu padu demi tegaknya kebenaran bukanya malah menutupi kebenaran itu. MK sudah memberikan sejumlah petunjuk untuk ditindak lanjuti oleh kepolisian karena disinyalir ada tindak pidana didalamnya untuk itu menjadi tidak penting jika kemudian malah saling tuduh menuduh karena sudah ada lembaga kepolisian yang akan menanganinya. Biarkan proses berjalan lancar jika perlu semua pihak saling berkaca dan koreksi diri. Jika salah dengan sikap seorang negarawan yang legowo dan narimo (menerima) kenyataan mengakui jika itu memang salah dan benar jika itu memang benar sehingga rakyat tidak dipusingkan dan bingung melihat mana yang benar dan mana yang salah.
Mungkin dengan sikap seperti itu akan lebih baik dan terlihat bertanggung jawab serta memberikan pembelajaran bagi yang lain sehingga kinerja pemerintahan bias menjadi lebih baik karena belajar dari kesalahan. Kalau perlu jargon diganti dengan “katakana tidak untuk menutupi kesalahan” yang salah tetap harus diproses dan dimintai pertanggungjawabannya. Dan kebenaran harus tetap diperjuangkan.

Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam Jurusan Tarbiyah
Universitas Muhammadiyh Surakarta

0 komentar:

Posting Komentar