Rabu, 01 Juni 2011

Pendidikan Anti Kekerasan Jawaban atas Fenomena maraknya Geng Motor

Oleh : Agus Mulyadi*
Akhir-akhir ini isu kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok remaja kembali mengemuka. Munculnya kembali aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok ini sontak membuat warga kota bandung kembali mencekam. Hal ini selain menarik perhatian Ada empat geng motor yang paling besar di Bandung yakni Moonraker , Grab on Road (GBR), Exalt to Coitus (XTC) dan Brigade Seven (Brigez). Keempat geng itu sama- sama eksis dan memiliki anggota di atas 1000 orang. Kini mereka mulai menjalar ke daerah- daerah pinggiran Jawa Barat, seperti Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Ciamis, Cirebon dan Subang.
Terlepas dari semua itu pada dasarnya bangsa kita memang sedang dalam masa krisis. Krisis moral, keadilan, kepercayaan dan sebagainya. Bangsa ini berjalan dengan kaki yang pincang. Generasi muda semakin linglung di ombang ambing budaya pop, hedonis, dan cenderung brutal serta anarkis.
Bagaimanakah nasib bangsa ini kedepan ? Jika kondisi seperti ini terus saja dibiarkan atau bahkan tidak digubris maka tinggal menunggu masanya. Institusi pendidikan, guru, tokoh masyarakat dan pemerintah diharpkan segera menemukan formulasi jitu untuk menangani kasus ini. Jika didiamkan saja sebenarnya sama halnya menginginkan kehancuran bangsa yang kita cintai ini.

Anarkisme Geng Motor
Geng motor kota Bandung kembali berulah, berawaal dari perayaaan ulang tahun gengtersebut di daerah Subang, ratusan geng motor bentrok dengan rivalnya, di daerah Cihampelas Bandung. Ratusan anggota polisi diturunkan untuk menghalau ratusan anggota geng yang berkelahi massal  tersebut. Sebenarnya kasus seperti yang terjadi di subang bandung ini pernah terjadi pula pada tahun- tahun sebelumnya.
Kenapa sekarang bisa terjadi kembali aksi brutal seperti ini, merupakan sebuah pertanyaan yang samapai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah dunia pendidikan. Pasalnya kasus ini melibatkan banyak siswa atau pelajar yang masih duduk dibangku menengah. Artinya pendidikan masih belum mampu menciptakan karakter sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, kerukunan, arif, harmoni, toleransi dan mengedepankan kebersamaan.
PERLU dibedakan antara geng motor dengan Club Motor. Geng motor adalah kumpulan orang-orang pecinta motor yang doyan kebut-kebutan, tanpa membedakan jenis motor yang dikendarai. Sedangkan Club Motor biasanya mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu dengan perangkat organisasi formal, seperti HDC (Harley Davidson Club), Scooter (kelompok pecinta Vesva), kelompok Honda, kelompok Suzuki, Tiger, Mio. Ada juga Brotherhood kelompok pecinta motor besar tua. Tapi kalau soal aksi jalanan, semuanya sama saja. Kebanyakan sama-sama merasa jadi raja jalanan, tak mau didahului, apalagi disalip oleh pengendara lain
Siapakah yang patut disalahkan? Dalam hal ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Semua elemen harus bersatu, berfikir arif dan bijaksana untuk bagaimana caranya agar kasus-kasus seperti yang terjadi di bandung tidak terulang kembali apalagi merembet ke daerah lain. Orang tua harus sebisa mungkin selama 24 jam mengawasi aktifitas anak- anaknya. Menanamkan nilai- nilai social dan kemanusiaan serta moral agama dan budi pekerti. Kemudian tokoh masyarakat bersama aparat keamanan saling bahu membahu mengawasi keamanan lingkungannya. Sebisa mungkin terhindar dari segala kemaksiatan yang bisa mendatangkan kemadharatan dan mengusik ketenangan dan ketentraman lingkungan.

Pendidikan Anti Kekerasan
Guru dan orang tua harus berhenti menggunakan kekerasan dalam mendidik anak. Sebagai contoh kasus Seorang anak Sekolah Dasar (SD) di kawasan pedalaman Timor Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), ditanya, "Adik, apa yang kamu beli jika punya uang?" Dengan mimik serius ia menjawab, "Saya akan membeli sepatu tinggi, biar kaki saya tidak sakit kalau ditendang pak guru."
Contoh bentuk kekerasan semacam ini masih menjadi hal lumrah dilakukan sebagian guru di Indonesia. Data yang dihimpun Biro Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyebutkan, lebih dari 2,5 juta anak Indonesia mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal di sekolah. Ironisnya, kebanyakan tindak kekerasan itu dilakukan oleh orang di lingkungan terdekat anak, termasuk orang tua, guru, bahkan teman sekolah.
"Kekerasan fisik maupun verbal berdampak buruk terhadap anak. Siswa bisa kecewa, frustrasi, rendah diri, tak percaya diri, kehilangan motivasi, minder, anak dihantui rasa takut, kecemasan, dan lain sebagainya," tutur konselor Dr Sayekti MPd. Menurutnya, kekerasan itu bisa dimulai dari kontak mata, sikap, dan gaya penampilan.
Dosen Bimbingan Konseling (BP) Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Universitas Slamet Riyadi (FKIP Unisri), Solo ,berpendapat, "anak tidak boleh dibelenggu.. Pendidikan ramah anak merupakan pendidikan yang mengedepankan rasa kasih sayang dan bukan kekerasan, mengedepankan pujian bukan umpatan, mengedepankan asah, asih dan asuh dan bukan intimidasi atau tekanan." Di dalam lingkungan sekolah,kunci kekerasan terletak pada guru. Sedangkan di lingkungan rumah rumah tangga, orang tua. "Teman anak akan mengikuti seperti yang dilakukan guru dan orang tua," tuturnya.
Karena itu, kata dia, guru mesti berbekal Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) berdasar iman dan takwa. Ia profesional sebagai pendidik dan tenaga kependidikan, membiasakan hidup sehat dan bersih, mengoptimalkan tumbuh kembang anak, serta mengembangkan pendidikan berbasis ketrampilan.
Pendidikan ramah anak, kata Sayekti, terwujudnya anak cerdas, sehat terampil, dan berkualitas. Indikatornya, pendidikan yang mengedepankan rasa riang, aman, sehat, menarik, efektif, menghormati hak anak, saling asah, asih, dan asuh, nyaman, aspiratif, serta komunikatif.
Mengutip dari perkataan Psikolog, Dr Endang Suraningsih Psi, ia khawatir dengan  pendidikan yang akrab dengan kekerasan. Yang ternyata sekarang malah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, mengambil hak orang lain, mencarikeuntungan dengan mengorbankan kepentingan orang lain, bahkan menindas orang lain secara ekonomi.
Semua itu, kata dia, akan menimbulkan dampak negatif. "Sudah saatnya mengubah sikap dalam mendidik anak dengan cara-cara positif, baik di rumah maupun di sekolah," ujarnya. Hal itu penting untuk menyiapkan generasi mendatang yang bertanggung jawab terhadap sesamanya, serta menjadi warga negara yang baik, dan memutuskan mata rantai kekerasan terhadap generasi penerus. "Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus meninggalkan kekerasan dalam mendidik murid. Demikian juga, orang tua harus berhenti menggunakan kekerasan dalam mendidik anak," tambah Endang.
Gagasan pendidikan ramah anak menggelinding deras ke wilayah publik. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), salah satu pihak yang menginisiasi gagasan ini. Malahan menyeponsori serangkaian kegiatan diskusi, temu pakar, debat publik, dan diseminasi gagasan di hadapan pimpinan partai politik. "Pendidikan ramah anak mesti kita perjuangkan," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno.
Dasar pendidikan itu, kata dia, cinta. Hanya orang berangkat dari rasa cinta boleh menjadi pendidik. Hanya penguasa yang membekali diri dengan cinta bisa mengelola pendidikan. "Tanpa cinta pendidikan tidak beda dengan pabrik manusia semata sebagai raw input diproses secara mekanis, akhirnya muncul output sesuai yang dikehendaki," tegasnya.
UU No 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan, implementasi pendidikan yang lebih humanis dan ramah. Pasal 49 menyebutkan, negara, pemerintah, dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 50, pendidikan diarahkan pengembangan sikap dan kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi optimal, pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan berasasi, dan pengembangan rasa hormat terhadap orang tua. Selain itu, identitas budaya, bahasa dan nilai- nilai nasional di mana anak tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri, persiapan anak untuk kehidupan bertanggung jawab, pengembangan rasa hormat, cinta lingkungan hidup.
"Kata-kata hak asasi manusia, hormat, cinta, peradaban, lingkungan hidup, dan tanggung jawab, dalam UU tersebut merupakan isyarat agar proses pendidikan berlangsung dengan ramah anak; manusiawi, bertahap, menghargai potensi setiap individu, menghargai hak orang lain dan keberagaman," kata Hadi Supeno.
Kini, saatnya dikembangkan pendidikan ramah anak. "Yaitu, pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, penuh kegembiraan dan keceriaan, bukan pendidikan yang menimbulkan rasa takut dan penuh ancaman, apalagi kekerasan," paparnya. Bed irwan kelana

Mahasiswa Fakultas Agama Islam, Jurusan Tarbiyah
 Universitas Muhammadiyah surakarta

0 komentar:

Posting Komentar