Kamis, 09 Juni 2011

MEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA


Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

Reformasi Budaya
Bangsa kita tengah berada di persimpangan jalan. Kita hidup di tengah-tengah gelombang pengaruh kebudayaan dan peradaban yang demikian deras datangnya dari luar kehidupan kita sebagai akibat cepatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan terjadinya globalisasi dalam semua bidang kehidupan. Di tengah suasana yang demikian, bangsa kita melakukan upaya-upara reformasi atau pembaruan di segala bidang kehidupan bernegara. Kita usung tema reformasi total sebagai jawaban atas kejenuhan dan kekecewaan kita kepada sistem kekuasaan yang kita warisi dari zaman Orde Baru yang tidak memberikan jaminan atas kebebasan individu warga, dan tidak berhasil mewujudkan impian-impian kita tentang keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Untuk mengatasi segala kelemahan, kekurangan, keburukan, dan bahkan segala sesuatu yang kita persepsikan sebagai kegagalan pemerintahan Orde Baru itu bangsa kita telah memilih jalan dengan menata kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis dan mempertegas komitmen normatif bangsa kita untuk mengembangkan prinsip negara hukum yang menjamin kebebasan dan hak asasi manusia, serta janji kesejahteraan yang lebih merata, semata-mata untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itulah selama 12 tahun terakhir kita telah menata ulang secara besar-besaran postur dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan kita, mekanisme penyelenggaraannya yang diharapkan lebih berubah semakin modern, transparan dan akuntabel. Kita mengubah institusi-institusi kenegaraan dan pemerintahan itu, mulai dari lembaga yang semula paling tinggi kedudukannya, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sampai ke institusi pemerintahan desa dan kelurahan-kelurahan di lingkungan perkotaan. Kita juga sudah melakukan merombakan sistem hukum dan perundang-undangan kita secara besar-besaran, mulai dari hukum tertinggi, yaitu konstitusi sampai ke peraturan-peraturan daerah dan bahkan peraturan-peraturan desa. Semuanya berubah dengan sangat cepat dan sangat mendasar. Dengan demikian, di tengah-tengah gelombang perubahan yang sedang terjadi di dunia dimana bangsa kita dipengaruhi secara sangat luas dan mendasar di segala bidang, kita pun mengadakan perubahan-perubahan mendasar dalam waktu yang sangat singkat, tanpa persiapan budaya yang dapat dikatakan matang. Perubahan-perubahan bersifat sangat struktural dan instrumental yang tentunya dapat dipakai untuk melakukan fungsi perekayasaan masa depan bangsa ke arah idealitas yang dikehendaki bersama.

Namun, di tengah perubahan-perubahan mendasar itu, dimensi kebudayaan dan tuntutan akan kualitas sumber daya manusia yang akan diandalkan dapat dikatakan tertinggal. Perubahan demi perubahan mendasar tersebut di atas tidak diiringi oleh perubahan kualitas individu manusia dan kolektifitas budaya yang sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan. Institusi-institusi baru lebih diharapkan lebih baik telah kita dirikan, tetapi cara berpikir dan bekerja manusia yang diharapkan menggerakkan masih terbelakang dan dikungkung oleh pengaruh tradisi yang diwarisi dari masa-masa yang lalu. Ide-ide baru telah banyak pula kita adopsi dan kita tuangkan menjadi materi-materi peraturan perundang-undangan yang kita percaya akan membawa hasil yang serba luhur dan mulia, tetapi manusia-manusia yang diharapkan akan menjalankannya rupanya sebagian terbesar masih terperangkap dengan sikap-sikap dan perilaku lama. Dengan demikian, kita terus menerus menyaksikan adanya kesenjangan yang akut antara institusi dan instrumen aturan di satu pihak dengan kebiasaan dan tradisi di pihak yang lain.

Jawabannya tentu tiada lain adalah bahwa di masa mendatang kita memerlukan reformasi lanjutannya, yaitu reformasi budaya atau reformasi kebudayaan. Sejak tahun 1998 kita telah memulai agenda reformasi politik dan birokrasi, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Sekarang atau setidaknya mulai tahun 2014 nanti, kita harus menggerakkan reformasi lanjutan, yaitu reformasi kebudayaan. Reformasi budaya itu tentu harus kita mulai dengan persoalan kualitas manusia, yaitu manusia ideal yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu cita-cita kehidupan bangsa yang cerdas. Agar menjadi cerdas, maka manusia dan bangsa Indonesia haruslah terdidik dengan baik, yaitu melalui pendidikan yang bermutu, relevan, dan merata. Pendidikan nasional yang diselenggarakan untuk itu, menurut Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, tidak lain adalah pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, agar menjadi cerdas, pertama-tama manusia Indonesia itu haruslah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehingga tujuan untuk menguasai, mengembangkan, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hendak dicapai oleh dan dari setiap kegiatan pendidikan dapat didampingi secara seimbang oleh penghayatan, pemahaman, dan pengamalan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang secara konkrit tercermin dalam perilaku luhur dan akhlak mulia dalam semua bidang kehidupan sehari-hari.

Pendidikan Watak atau Karakter
Apakah pendidikan nasional yang kita selenggarakan sampai sekarang ini sudah menjamin perwujudan ide mengenai keseimbangan imtak dan iptek serta prinsip-prinsip akhlak mulia itu dalam praktik? Menurut saya, hal itu benar-benar belum tercermin. Pendidikan kita selama ini sama sekali tidak atau belum berhasil membantu agar manusia Indonesia dan bangsa kita menjadi cerdas dalam pengertian seperti tersebut di atas. Pendidikan kita masih terlalu bersifat kognitif dengan orientasi konten yang dari waktu ke waktu terus menerus dibebani titipan oleh aneka kepentingan dari sekeliling. Dalam kenyataan, taksonomi Bloom yang menggambarkan adanya tiga elemen pokok dalam pendidikan, yaitu aspek-aspek affective, cognitive, dan psychomotoric tidak lah berkembang secara seimbang antara satu dengan yang lain. Pendidikan kita tidak berhasil membentuk sikap dan karakter, dan tidak juga membangun kapasitas kemampuan teknis untuk melakukan menerapkan pengetahuan dan sikap-sikap yang dimiliki dalam praktik.

Sampai sekarang pendidikan kita masih terus berorientasi kepada ‘konten’ pengetahuan. Memang benar kebijakan kirukulum kita sudah sejak lama diubah dari orientasi konken (content-base curriculum) ke kompetensi (competence-base curriculum). Namun dalam praktik orientasi konten atau orientasi kepada materi muatan pengetahuan, terus saja dipraktikkan. Bahkan, setiap muncul kritik akan kinerja pendidikan, selalu muncul tawaran yang dianggap solusi yang baik, yaitu penambahan jam pelajaran atau penambahan mata pelajaran yang dinilai sangat penting. Padahal, pengetahuan dan ilmu pengetahuan dewasa ini terus berkembang sifatnya akibat teknologi informasi dan komunikasi yang dipraktikkan secara luas. Informasi pengetahuan mengalami proses globalisasi yang cepat dan memudahkan bagi siapa saja untuk menguasainya. Karena itu, pola-pola pendidikan dan pengajaran yang berorientasi penguasaan konten atau materi ilmu pengetahuan haruslah mengalami perubahan secara mendasar. Kita tidak lagi memerlukan peran guru sebagai narasumber. Guru cukup berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing teknis cara mencari dan memahami informasi pengetahuan itu melalui sarana teknologi komunikasi dan informasi modern.

Dengan demikian, yang harus kita andalkan dari peran guru di masa mendatang adalah keteladanan dan kepemimpinannya dalam membawakan suasana belajar di kelas dan di luar kelas yang tidak berorientasi konten. Guru harus menjadi teladan, membimbing, dan mengarahkan tuntunan sikap dan akhlak mulia untuk membentuk kepribadian dan watak atau karakter, sekaligus kemampuan-kemampuan teknis bagi para peserta didik. Karena itu, orientasi pendidikan kita haruslah mengutamakan aspek-aspek afektif dan psikomotorik, dan bukan kognitif yang dapat dicari sendiri oleh para peserta didik. Yang penting ada dalam diri setiap peserta didik adalah sikap, karakter dan motivasi yang kuat disertai kemampuan teknis untuk mencari, menermukan, mengumpulkan, memahami, dan menguasai segala informasi ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup, bekerja, dan untuk bertindak dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi dan kualitas hidup bersama dalam masyarakat dan bangsa kita sekarang dan di masa datang.

Dalam pembentukan watak atau karakter dan peningkatan kemampuan-kemampuan bertindak atau beraksi, tentu saja diperlukan penguasaan banyak informasi pengetahuan. Akan tetapi di samping informasi pengetahuan, yang jauh lebih penting lagi adalah pengaruh keteladanan dan hasil tempaan pengalaman praktik. Oleh sebab itu, pendidikan karakter haruslah berorientasi pada pengalaman praktik, pada proses kegiatan, bukan pada output atau hasil, pada nilai ujian, pada ‘ranking’ prestasi akademis, dan sebagainya. Pendidikan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh keteladanan yang ada di lingkungan belajar, dan pengalaman praktik dan pengalaman bekerja yang dialami langsung oleh para peserta didik. Untuk itu, perlu dipikirkan kemungkinan mengubah format pendidikan agama, misalnya, tidak lagi berorientasi konten dan output yang diukur dengan jumlah jam pelajaran dan dengan hasil ujian. Pendidikan agama lebih baik dilakukan melalui praktik kegiatan untuk sholat berjamaah, misalnya, untuk berperilaku mulia dalam bertutur kata dan dalam bersikap terhadap guru, terhadap teman, terhadap tetangga, dan sebagainya. Untuk ekstrimnya, jika sekiranya kegiatan-kegiatan demikian dapat diintensifkan dengan efektif dan para guru benar-benar dapat dijadikan teladan untuk itu, maka dapat saja mata pelajaran agama secara formal ditiadakan sama sekali.

Sudah barang tentu, pendidikan watak itu tidak hanya perlu dan tidak dapat hanya dilakukan di dalam kelas. Ada banyak aktor dan faktor berpengaruh yang harus diperhitungkan. Di luar kelas, kita menemukan dunia tontonan melalui media televisi dan media elektronik, dan media lainnya. Di luar kelas, kita juga terlibat dalam lingkungan kerja dan lingkungan pergaulan. Di luar kelas, kita hidup dalam keluarga yang memberikan kepada setiap peserta didik “field of experience” yang dapat membentuk “frame of reference” dalam diri setiap peserta didik. Karena itu, perlu pengaturan yang bersifat sistemik dan terintegrasi antar semua aktor dan faktor di atas untuk merekayasa suatu arah pendidikan watak, pendidikan karakter, yang kita cita-citakan bersama bagi bangsa ke menuju masa depan.

Pendidikan Aksi
Watak, karakter, dan kepribadian bagaimana juga terbentuk melalui pengalaman. Itulah sebabnya prinsip ‘learning by doing’ menjadi sangat penting. Pengetahuan yang kita peroleh dari bacaan biasanya hanya bersifat kognitif, hanya mengandung dimensi reflektif. Akan tetapi, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman praktik berdimensi reflektif dan sekaligus aktif. Seperti dikemukakan oleh Paulo Freire dalam “Paedagogy of the Oppressed”, perubahan selalui dimulai dari sebuah kata. Akan tetapi, menurutnya, kata yang baik dan efektif untuk itu haruslah mengandung 2 dimensi sekaligus, yaitu refleksi (reflection) and aksi (action).

Jika kata hanya berisi refleksi, pengertian, dan pemahaman saja, maka kata yang demikian itu jika dikuasai hanya akan menghasilkan verbalisme. Seseorang yang banyak tahu secara kognitif, hanya menguasai dimensi refleksi dari kata-kata, akan menjadi orang yang verbalis, NATO atau “Never Action, but Talking Only”. Tetapi sebaliknya, jika kata hanya berisi aksi atau berisi tindakan, maka kata yang demikian itu hanya akan menghasilkan aktivisme, yaitu aktivisme tanpa perenungan, tanpa pemahaman dan pengertian. Aktifitas yang lahir dari sikap aktifisme seperti itu akan menjadi aktifitas tanpa jiwa dan tanpa kedalaman makna.
Karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep ‘fraksis’ (praxis) sebagai gabungan dari dimensi releksi dan aksi itu dalam kata (word). Fraksisiologi kata itulah yang penting kita wujudkan dalam pendidikan, yaitu pendidikan ‘kata-kata’ yang menyatu dengan tindakan-tindakan aksi. Pendidikan teoritis yang diikuti oleh praktik. Pendidikan di dalam kelas diiringi dengan pendidikan di lapangan. Pendidikan verbal dengan bertutur kata baik secara lisan ataupun tulisan yang diiringi dengan pendidikan melalui kerja, melalui pengalaman, ‘learning by doing’. Melalui pengalaman praktik yang demikian itu, pengetahuan tidak hanya akan menghasilkan refleksi, tetapi juga mengandung aksi.

Untuk itulah, maka proses belajar mengajar yang kita terapkan di sekolah dan di perguruan tinggi dewasa ini sudah semestinya dievaluasi dengan sungguh-sungguh. Jangan menjadikan peserta didik kita hanya pandai berkata-kata tetapi tidak pandai mewujudkan kata-kata itu dalam kenyataan praktik. Revolusi, hanya dapat dilakukan dengan kata-kata yang menurut Freire mengandung aksi, yaitu kata-kata yang praksis, bukan yang verbalis ataupun sekedar aktifistis.

Pencerahan Budaya dan Peradaban
Pendidikan watak atau pendidikan karakter itu sangat menentukan kualitas peradaban bangsa kita di masa depan. Pendidikan karakter akan membantu kita membuka pintu pencerahan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Arus informasi pengetahuan yang bergerak luas di dunia maya akan sangat mudah dikuasai oleh siapa saja yang tercerahkan (enlightened personalities). Semakin banyak, luas, dan mendalam informasi dikuasai oleh anak bangsa kita, makin besar pula potensi bangsa kita untuk maju dan berperan aktif dalam pergaulan antar peradaban modern.

Indonesia adalah negeri dengan penduduk keempat terbesar di dunia dan hidup di wilayah benua maritime yang sangat kaya dari semua aspeknya. Jika kita tidak tertinggal, maka bersamaan dengan terus meningkatnya kualitas sumber daya manusia di seluruh dunia, sudah tentu pada saatnya Indonesia akan berkembang menjadi salah satu kiblat peradaban umat manusia. Untuk itulah maka kita memerlukan upaya-upaya pencerahan dalam membentuk kepribadian, watak, dan karakter generasi muda sekarang agar menghasilkan insan-insan unggulan di segala bidang. Untuk itu, bangsa kita memerlukan strategi pembangunan pendidikan nasional yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan kebutuhan demikian itu. Strategi pendidikan nasional yang kita praktikkan sekarang memerlukan reformasi yang mendasar dan bahkan boleh jadi bersifat radikal sehingga dapat membuka optimisme ke arah perbaikan yang berarti di masa mendatang.

Untuk itu, kita perlu menyampaikan harapan, kiranya kaum cerdik cendekia dan khususnya para ahli pendidikan dapat memikirkan pelbagai altenatif solusi dalam memperbaiki sistem pendidikan nasional kita dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan kita dalam arti sempit, dan integrasi sistem pendidikan dalam arti luas dengan melibatkan semua actor dan factor yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar