Sabtu, 11 Juni 2011

Keadilan Yang Tergadaikan (Refleksi Atas Praktik Penegakan Hukum di Negara Yang Merindukan Keadilan)


Oleh: Agus Mulyadi*
Sebuah tema yang menarik perhatian penulis untuk mengkaji akar paradigma yang berkembang di masyarakat. Dikatakan oleh banyak kalangan masyarakat bahwa keadilan di negri ini telah di beli digadaikan kepada para pemegang kekuasaan. Bukan isapan jempol belaka jikalau ternyata pada akhirnya praktik penegakan hokum yang berjalan di negri ini sama sekali tidak memihak kepada kaum lemah atau proletar. Termarginal dan tersisih sudah menjadi hukum alam dalam sebuah bangsa yang masih linglung lagi gagap dalam mempraktikan asas demokrasi yang konon katanya berpihak sepenuhnya kepada rakyat.
Sudah menjadi rahasia umum, para aparat poenegak hokum di negri ini bobrok dan memprihatinkan moralnya hingga masyarakat sinis dan mengeluh akibat banyak oknum hakim memenangkan pejabat penguasa dan orang berduit dalam berperkara di pengadilan. Nampaknya, jabatan sebagai titipan amanat rakyat sudah diselewengkan dengan melakukan berbagai pelanggaran rambu-rambu hukum dan etika. Akibat moral dan etikanya yang amburadul dan silau dengan gemerlap harta benda.
Akan sampai kapan bangsa ini terus menerus dihantam badai korupsi, kecurangan, penipuan, pemalsuan dan sebagainya?. Masyarakarak bukannya menjadi sejahtera malah kebalikannya semakin jauh dari kata makmur, sentausa, gemah ripah luhjinawi. Tragedy seperti ini ironisnya seperti mendapat restu oleh pemegang kekuasaan. Bagaimana tidak kasus yang mendera para pejabat Negara seakan sulit untuk diadili apalagi dijatuhi hokum. Benar-benar tragedy yang sangat bagi bangsa yang baru merangkak menuju kemajuan, bukan kemajuan yang didapat kemunduruan yang telak didapat.
Dari realitas yang paling dekat dengan mata masyarakat saja bisa dibilang begitu sangat timpang praktik penegakan hokum yang dirasakan masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh kasus pencurian beberapa buah jagung berujung pada jeruji sel yang begitu dingin dang mengerikan, pencuri ayam yang tidak jarang hingga babak belur meregang nyawa si pelaku, polisi tinggal diam dengan alasan polisi kalah cepat dengan massa, .
Ya, lagi- lagi memang Keadilan dan kebenaran hanya milik yang punya uang. Pedang hukum hanya tajam saat berhadapan dengan rakyat biasa, tetapi tumpul ketika menghadapi penguasa dan orang berduit. Kebobrokan, kebusukan, kebohongan, kemunafikan, kejahatan hukum seakan dimonopoli oleh penguasa, politisi busuk dan pengusaha hitam. Apakah ini yang diharapkan dari para leluhur dan funding fathers yang telah mendahului kita?. Tentu jawabanya adalah “tidak” pendahulu bangsa tidak mungkin rela rakyat menjerit dihimpit kemiskinan, ketidakadilan, dan perkosa hak- hak asasi mereka.
Dari Hulu ke Hilir
Dirasa ungkapan diatas tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa yang dirundung derita. Unkapan tersebut diletupkan oleh  Ketua KHN Prof JE Sahetapy SH bahwa pembasmian mafia peradilan tidak segampang seperti halnya membalik telapak tangan, pembersihan kata beliau harus dimulai dari sumbernya atau ibarat air hulu air sehingga ketika air itu mengalir ke hilir sudah bersih dari kotoran- kotoran yang menjangkitinya.
Bukan salah kalau orang banyak yang mengatakan bahwasanya pemerintah sangat buruk dan tebang pilih dalam menyelesaikan sebuah kasus. Tidak akan pernah selesai apabila MA sebagai lembaga yang seharusnya menjadi motor penggerak penegakan hokum masih kotor dan ikut- ikutan melakukan praktik perjokian dan menjadi mafia hokum. Maka dari itu menurut hemat saya paling tidak MA harus mulai melihat kondisi rumah tangganya sendiri sebelum bertindak lebih jauh. Apabila kedapatan personil MA melakukan praktik perjokian atau menjadi mafia hokum sesegera mungkin untuk dituntaskan sehingga lembaga- lembaga hokum yang lain akan dan harus mengikuti apa yang telah dicontohkanya.
Selain kelakuan hakim banyak yang bobrok, oknum jaksa dan polisi juga melakukan permainaan hukum dengan melakukan pemerasan dan menerima suap. Hal ini imbas dari ketidak tegasan para pejabat yang lebih tinggi atau berwenang dalam hal ini untuk mengusutnya yang masih mengadopsi budaya kikuh pekewuh, sungkan dan kekerabatan, sehingga pemberantasan korupsi, suap, pemerasan dan mafia hokum akan sangatlah sulit untuk diberangus. Namun juga tidak menutup kemungkinan untuk minimal bangkit dan kemudian melakukan pembenahan yang bersifat menyeluruh, dengan keyakinan dan semangat bahwa masih ada pejabat Negara dan penegak hokum  yang bersih dan peduli terhadap kemajuan bangsa yang tentunya dalam hal yang bersifat positi bukan kebalikannya.
KPK  dan sejumlah kasus korupsi
 politik telah menjadi panglima dalam penegakkan hukum”. Penggalan kalimat diatas sontak membuat hati masyarakat semakin menjerit dengan segala ketimpangan yang sedang dipraktikan oleh para pemegang kekuasaan. Seakan bermain sandiwara mereka bersama kroni- kroninya menjalankan scenario yang sudah jauh- jauh hari disusun dengan rapi gedung dewan dan istana jadi panggungnya.
Dari serentetan kasus yang melilit sejumlah pejabat hamper keseluruhannya berakhir abu- abu alias tidak jelas penyelesaiannya. Memang tidak semuanya namun sebagian besar mau tidak mau harus diakui hokum dan keadilan di negri ini belum berpihak kepada rakyat kecil. Keadilan menjadi hak mereka yang dekat dengan kekuasaan. Keadilan hanya bagi mereka yang mau menjilat dan bermain politik. Keadilan untuk mereka yang berani menggelontorkan sejumlah uang dibawah meja hakim. Dan keadilan tergadaikan oleh mereka yang suka bermain layaknya tikus- tikus kantoran.
Seolah tidak ada jalan lain untuk memperkaya diri mereka memilih untuk menelikung uang rakyat dari penyelewengan pajak dan menjadi makelar dari sejumlah kasus. Kalau tidak begini bukan politisi namanya. Politisi santun, pejabat jujur, hakim yang adil seolah sudah menjadi barang langka di negri ini. Karena kejujuran, keadilan dan sopan santun sudah tergadaikan oleh mereka.

Terkait tragedy moral dan etik yang sedang mendera bangsa ini KPK jangan hanya diam saja menjadi penonton, KPK harus menjadi actor utama dalam pemberantasan korupsi, suap, dan kasus- kasus lain yang berakibat kepada kerugian Negara.
Jangan hanya SBY yang hanya bilang berdiri didepan tetapi dalam segi praktisnya nihil atau politik bakul jamu saja besar dimulut kasiatnya nol. KPK bersama MA yang pada saat ini menjadi lembaga pemberantasan korupsi harus lebih gesit dan berani mengatakan serta bertindak di depan segala- galanya. Independensi harga mati korupsi harus dibasmi sudah menjadi tugas pokok Komisi ini.  Tentu kesemuanya itu tanpa ada dukungan dari masyarakat dan pemerintah tidak akan bias terwujud. Oleh sebab itu semua lembaga hokum tentunya harus mulai melakukan ruwatan missal terhadap jajarannya agar terhindar dari bahaya makelar kasus dan suap. Begitu juga pemerintah sebagai lembaga ekskutif  harus benar- benar  memperhitungkan aspek manfaat, transparansi dan efektifitas serta pemberdayaan atas segala bidangnya demi kredibilitas jajarannya. Penanaman moral dan nilai- nilai sopan santun, kejujuran, hormat menghormati dan sebagainya sejak dini harus diberikan kepada anak  sehingga ketika ia dewasa bisa mengaplikasikan nilai- nilai tersebut dengan mempertimbangkan kebersamaan, keberagaman, dan keharmonisan serta kemajuan nusa dan bangsa.

Mahasiswa Jurusan Tarbiyah
Fakultas Agama Islam 
 Universitas Muhammadiyah Surakarta

0 komentar:

Posting Komentar