Jumat, 10 Juni 2011

Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah

Dalam satu dekade belakangan ini, nurani kita tercabik-cabik dan terharu-biru oleh maraknya aksi kekerasan yang brutal dan sadis berkedok agama. Kasus yang dengan telanjang menampilkan ulah bar-bar dan premanisme sebagaimana yang tertayang di layar kaca bukanlah karakter bangsa kita yang sesungguhnya. Kekerasan yang terjadi di Cikeusik atau Temanggung beberapa waktu yang silam, misalnya, makin membuka mata kita bahwa sakralitas makna “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”, diakui atau tidak, sudah mulai luntur. Dan ini, jelas menjadi perkara serius yang perlu segera dituntaskan sebelum akhirnya mewabah menjadi “penyakit sosial” yang bisa meluluhlantakkan basis keindonesiaan kita yang sejak dulu amat toleran terhadap perbedaan. Apalagi, kasus-kasus yang mencuat ke permukaan terkait langsung dengan masalah keyakinan, kepercayaan, atau agama yang menjadi salah satu hak dasar dan asasi setiap warga bangsa. Ini artinya, tak seorang pun yang berhak untuk mencampuri dan mengintervensi hak-hak setiap warga negara yang mendasar dan asasi itu.
Taruhlah keyakinan perorangan atau sekelompok orang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan “keyakinan” mainstream yang ada di negeri ini, tetapi tidak lantas berarti harus dituntaskan dengan cara-cara kekerasan yang justru amat bertentangan secara diametral dengan keyakinan agama apa pun. Bukankah setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang kepada sesama secara universal? Sungguh tidak bisa dipahami kalau pada akhirnya muncul “perilaku sesat” lewat tampilan preman dengan menenteng pentungan atau senjata tajam di ruang-ruang publik. Sungguh tidak bisa dimengerti kalau ada sekelompok orang yang berteriak di jalanan dengan menyebut-nyebut nama Tuhan, tetapi wajah mereka menunjukkan keangkuhan dan kegarangan dengan tangan menenteng senjata tajam berlumuran darah segar.
Dalam kondisi seperti itu, idealnya negara harus “hadir” di tengah kecamuk kekerasan yang membadai semacam itu. Namun, sayang sekali, negara melalui aparat yang berwenang dinilai selalu hadir terlambat sehingga kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk mencegah sejak dini. Sejak peristiwa berdarah Mei 1998, entah sudah berapa nyawa yang melayang sia-sia akibat praktik premanisme dan vandalisme berbau SARA. 
Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bahwa kekerasan berbau SARA yang seringkali terjadi di negeri ini merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat lemahnya pemaknaan terhadap perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai sebuah “rahmah”, tetapi justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang memicu tumbuhnya sikap fanatisme sempit. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai pihak lain yang mesti dimusuhi yang tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi agitasi dan provokasi. Imbas yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya orang yang tidak tahu apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam aksi-aksi premanisme yang tidak mereka sadari.
Dalam konteks demikian, dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah “rahmah”, melihat keberagaman sebagai pola perilaku yang khas di tengah-tengah negeri yang secara “sunatullah” memang telah “ditakdirkan” sebagai bangsa yang multibudaya. Sampai kapan pun, akar kekerasan akan menjadi ancaman laten selama nilai-nilai primordialisme dipahami secara naif dan sempit.
Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan yang “sadar budaya” semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural di sekolah. Di tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan kita. Banyak kalangan menilai, generasi Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah mengalami “gegar budaya”. Pada satu sisi, anak-anak muda yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan tak pernah berhenti mendapatkan asupan “gizi” tentang nilai-nilai keluhuran budi dan akhlakul karimah, tetapi pada sisi yang lain, mereka juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya berbagai perilaku anomali sosial, kerusuhan, dan kekerasan yang berlangsung vulgar dan telanjang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti itu, peserta didik mengalami “kepribadian yang terbelah”, sehingga tak jarang berada di persimpangan jalan ketika dihadapkan pada situasi yang saling kontradiktif.
Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa institusi pendidikan sebagai “kawah candradimuka peradaban” boleh bersikap abai dan melakukan pembiaran secara terus-menerus dan berkelanjutan terhadap perilaku generasi yang “gegar budaya” semacam itu. Melalui berbagai pendekatan dan model-model pembelajaran yang menarik, peserta didik perlu diajak berdiskusi, bersimulasi, dan berdialog bagaimana cara hidup saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat plural. Sekolah perlu di-setting dan didesain sebagai wadah simulasi terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan Indonesia yang serba-plural.
Pendidikan multikultural, dengan demikian, tidak cukup menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi perlu diimplementasikan secara integral ke dalam berbagai materi pembelajaran yang relevan dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada salahnya, peserta didik diajak berdialog dan belajar menumbuhkan kepekaannya terhadap kasus kekerasan yang terjadi. Bagaimana respon dan sikap peserta didik terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi bisa dijadikan sebagai masukan berharga dalam proses pembelajaran berbasis pendidikan multikultural. Guru perlu memberikan kebebasan kepada subjek didik untuk merespon dan menyikapinya, sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan sebagai sosok yang amat dibutuhkan kehadirannya dalam proses pembelajaran
Meskipun demikian, guru dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran perlu memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa dikonstruksi menjadi pengetahuan baru tentang nilai-nilai multikultural itu. Jika dikemas dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang “sadar budaya” sehingga mampu menyandingkan keberagaman sebagai kekayaan budaya bangsa yang perlu dihormati dengan sikap toleran, tulus, dan jujur. ***

0 komentar:

Posting Komentar