Kamis, 16 Juni 2011

Keadilan yang tergadaikan

Dimuat solopos, mimbar mahasiswa 
Edisi : Selasa, 14 Juni 2011 , Halaman : 4

Banyak kalangan di masyarakat menyatakan keadilan di negeri ini telah dibeli, digadaikan, kepada pemegang kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum, para aparat penegak hukum di negeri ini bobrok dan noralnya memrihatinkan.
Masyarakat sinis dan mengeluh akibat banyak oknum hakim memenangkan pejabat, penguasa dan orang berduit dalam beperkara di pengadilan.

Jabatan sebagai amanat rakyat sudah diselewengkan dengan melakukan berbagai pelanggaran rambu-rambu hukum dan etika. Akan sampai kapan bangsa ini terus menerus dihantam badai korupsi, kecurangan, penipuan, pemalsuan dan sebagainya?

Masyarakarak bukannya menjadi sejahtera, malah kebalikannya semakin jauh dari makmur, sentosa atau gemah ripah loh jinawi. Tragedi seperti ini ironisnya seperti mendapat restu pemegang kekuasaan.

Bagaimana tidak? Kasus yang mendera para pejabat negara seakan sulit untuk diadili apalagi dijatuhi hukuman. Benar-benar tragedi bagi bangsa yang baru merangkak menuju kemajuan. Bukan kemajuan yang didapat, malah kemunduran telak yang didapat.

Bisa dikatakan begitu sangat timpang praktik penegakan hukum yang dirasakan masyarakat pada umumnya. Kasus pencurian beberapa buah jagung berujung pada sel yang begitu dingin dan mengerikan. Pencuri ayam tidak jarang babak-belur meregang nyawa. Polisi tinggal diam dengan alasan polisi kalah cepat dengan massa. Keadilan dan kebenaran tampaknya hanya milik yang punya uang. Pedang hukum hanya tajam saat berhadapan dengan rakyat biasa, tetapi tumpul ketika menghadapi penguasa dan orang berduit.

Dari hulu ke hilir

Tak salah jika banyak orang mengatakan pemerintah sangat buruk dan tebang pilih dalam menyelesaikan kasus korupsi. Tidak akan pernah selesai apabila MA sebagai lembaga yang seharusnya menjadi motor penggerak penegakan hukum masih kotor dan ikut-ikutan melakukan praktik perjokian dan menjadi mafia hukum.

Menurut hemat saya, MA harus mulai melihat kondisi rumah tangganya sendiri sebelum bertindak lebih jauh. Selain kelakuan hakim banyak yang bobrok, oknum jaksa dan polisi juga melakukan permainaan hukum dengan melakukan pemerasan dan menerima suap. Hal ini imbas dari ketidaktegasan para pejabat yang lebih tinggi atau berwenang untuk mengusutnya.

Politik telah menjadi panglima dalam penegakan hukum. Kalimat ini membuat masyarakat semakin menjerit dengan segala ketimpangan yang sedang dipraktikkan para pemegang kekuasaan. Seakan bermain sandiwara, mereka bersama kroni-kroninya menjalankan skenario yang sudah jauh-jauh hari disusun dengan rapi.

Keadilan menjadi hak mereka yang dekat dengan kekuasaan. Keadilan hanya bagi mereka yang mau menjilat dan bermain politik. Keadilan untuk mereka yang berani menggelontorkan sejumlah uang di bawah meja hakim.

Seolah tidak ada jalan lain untuk memperkaya diri, mereka memilih untuk menelikung uang rakyat dari menyelewengkan pajak serta menjadi makelar kasus. Politisi santun, pejabat jujur, hakim yang adil seolah-olah menjadi barang langka di negri ini. Kejujuran, keadilan dan sopan-santun sudah tergadaikan oleh mereka.

Terkait tragedi moral dan etika yang sedang mendera bangsa ini, KPK jangan hanya diam jadi penonton. KPK harus menjadi aktor utama dalam pemberantasan korupsi, suap dan kasus-kasus lain yang berakibat kepada kerugian negara.

Persiden SBY jangan hanya bilang berdiri di depan tetapi dalam segi praktisnya nihil atau politik bakul jamu saja, besar di mulut khasiatnya nol. KPK yang pada saat ini menjadi lembaga pemberantasan korupsi harus lebih gesit dan berani mengatakan serta bertindak.

Independensi adalah harga mati dan korupsi harus dibasmi. Itu tugas pokok komisi ini. Tentu, semua itu tanpa dukungan masyarakat dan pemerintah tidak akan bisa terwujud. Oleh sebab itu, semua lembaga hukum tentu harus mulai melakukan ruwatan massal terhadap jajarannya agar terhindar dari bahaya makelar kasus dan suap.

Pemerintah harus benar-benar memperhitungkan aspek manfaat, transparansi dan efektifitas serta pemberdayaan atas segala bidang demi kredibilitas jajarannya. Penanaman moral dan nilai-nilai sopan-santun, kejujuran, hormat-menghormati dan sebagainya sejak dini harus diberikan kepada anak sehingga ketika dewasa bisa mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dengan mempertimbangkan kebersamaan, keberagaman dan keharmonisan serta kemajuan nusa dan bangsa. - Oleh : Agus Mulyadi Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Fakultas Agama Islam UMS

Sabtu, 11 Juni 2011

SEJARAH EMAS MUHAMMADIYAH

Oleh Sides Sudyarto DS
Sedikitnya ada dua titik kewaktuan yang pantas dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kehidupan Muhammadiyah. Titik kewaktuan pertama yang sangat bersejarah ialah saat oraganisasi massa religius itu didirikan tokoh harum yang bernama K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta sekitar satu abad yang lalu.
Titik kewaktuan yang kedua ialah ketika Prof. Dr. Amien Rais yang menembus dinding-dinding kampus untuk berkeliling menantang tembok beton kekuasaan Orde Baru yang repressif itu. Saat itu belum ada orang yang berani melawan secara terbuka terhadap kekuasaan dan kekuatan Orde Baru.

Universitas, dalam sejarah tercatat sebagai penyemai utama kaum intelektual. Secara sederhana bisa dikatakan, bahwa seorang intelektual ialah yang berani mengatakan kebenaran (to tell the truth) di hadapan kekuasaan. Untuk penguasa yang tidak benar, seseorang yang mengatakan kebenaran sudah dinilai sebagai perlawanan.

Dengan menembusi dinding kampus, Amien Rais menciptakan suatu ruang publik (public space) untuk dirinya dan untuk masyarakat bangsanya. Dengan demikian Amien Rais melakukan suatu lompatan besar, tranformasi dahsyat yang mengubah dirinya dari seorang guru besar universitas, menjadi seorang intelektual.
Saat itu tidak banyak, atau bahkan tidak ada intelektual lainnya. Kita punya banyak politisi, tetapi di zaman Orde Baru para politisi takut ditangkap, diciduk, dipenjara atau diculik dan hilang tak tentu kuburnya. Di zaman Orde Baru juga sudah banyak profesor. Tetapi profesor umumnya tidak memilih menjadi intelektual. Mereka lebih suka mukim dalam kampus dan kegiatannya tertuang dalam silabus. Tidak kenal ruang publik mereka itu, hanya kenal ruang kelas perkuliahan.

Apakah kaum profesor tidak dengan sendirinya intelektual? Seperti yang dikatakan Anotino Gramsci, semua orang bisa disebut intelektual. Masalahnya dan itu yang terpenting, apakah mereka memiliki peran intelektual dalam masyarakatnya. Saat menyaksikan atau mendengar Amien Rais berbicara dengan lantang dan gagah berani menantang despotisme, banyak orang khawatir, bahkan takut jika satu saat Amien Rais ditangkap atau dihilangan secara paksa dari atas dunia ini.

Aneh tetapi nyata, mengapa Amien Tidak ditahan, ditangkap atau diculik, mengingat saat itu kekuasaan bagaikan singa terluka dan karena itu bisa berbuat apa saja? Tentu saja tidak. Sebab di belakang Amien Rais ada suatu kekuatan moral yang sangat besar dan kuat: Muhammadiyah. Tuhan Maha Agung, dan Amien Rais selamat sehat walafiat. Singkat kata, Orde Baru yang telah bercokol selama 32 tahun, runtuh.

Setelah pemilihan umum pertama selewat Orde Baru, Amien Rais duduk sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI). Di pihak lain, Megawati Soekarnopoetri yang partainya memenangkan suara terbanyak, tidak jadi presiden. Ini berarti suara rakyat terbanyak yang memilih Megawati  telah dilecehkan. Pelecehan itu tentu saja merpakan cacat moral dalam sejarah politik kita.

Selanjutnya yang terjadi adalah, Megawati sebagai wakil presiden dilantik jadi presiden. Presiden saat itu, Gus Dur, diturunkan dari kursinya. Ini kemauan siapa? Skenario siapa? Jarang orang merenungkannya secara kritis. Tetapi dalam kesempatan ini kita tidak sedang bicara sejarah politik detil. Terpenting untuk direnungkan kembali dalam tulisan ini ialah, bahwa Amien Rais sebagai tokoh penting saat itu berubah lagi.

Perubahan itu terjadi, saat dia dari intelektual menjelma menjadi politisi biasa. Dengan duduk sebagai ketua MPR beliau bermetamorfosis, dari intelektual menjadi insan politik. Intelektual berorientasi kepada keadilan dan kebenaran, politisi berorientasi kepada kekuasaan, pribadi atau golongan. Intelektual, memihak rakyat, politisi bisa memilih: melayani rakyat, atau menguasai rakyat.

Proses perubahan yang terjadi yang meruntuhkan regim lama dan memunculkan regim baru, selama ini disebut reformasi. Dalam hasa harian, reformasi adalah perbaikan, atau pembentukan ulang, pembentukan kembali. Tetapi banyak orang salah paham, seolah reformasi itu peristiwa alam, seperti gunung berapi meletus atau banjir bandang sebuah bengawan.

Menilik arti katanya, reformasi mestilah digerakkan (oleh) manusia. Untuk sebuah CV atau PT yang terkecil pun, diperlukan manajemen yang baik. Tetapi mengapa tidak ada perencanaan dan manajemen untuk sebuah reformasi? Memang perubahan, sekadar perubahan, yang cukup besar, telah terjadi. Tetapi yang terjadi itu bukanlah reformasi melainkan sebuah perubahan belaka. Ternyata perubahan itu tidak terarah, tidak terkendali, sebab memang tidak ada perencana dan pengendalian reformasi.

Mengapa demikian tragis yang terjadi? Perencanaan, pengendalian  gerakan reformis adalah tugas dan fungsi kaum intelektual, bahu-membahu dengan kaum intelegensia. Kaum intelektual diperlukan karena fungsi kritis dan kreatifnya, kaum intelegensia diperlukan karena kemampuan teknis dan “skill” dalam bidangnya masing-masing. Malangnya, masyarakat kita ini tidak punya intetelektual (intellectuals), juga tak punya inteteligensia (intelligentsia).

Jika dalam partai politik tidak terdapat kaum intelektual, dengan sendirinya dalam parlemen juga gtidak akan ada intelektual. Jika dalam lembaga eksekutif tidak ada kaum intelektual, tanpa kaum inteligensia, apa yang akan terjadi adalah satu stagnasi. Bagaimanapun juga perubahan penting tidak akan terjadi tanpa kaum intelektual.


Keadilan Yang Tergadaikan (Refleksi Atas Praktik Penegakan Hukum di Negara Yang Merindukan Keadilan)


Oleh: Agus Mulyadi*
Sebuah tema yang menarik perhatian penulis untuk mengkaji akar paradigma yang berkembang di masyarakat. Dikatakan oleh banyak kalangan masyarakat bahwa keadilan di negri ini telah di beli digadaikan kepada para pemegang kekuasaan. Bukan isapan jempol belaka jikalau ternyata pada akhirnya praktik penegakan hokum yang berjalan di negri ini sama sekali tidak memihak kepada kaum lemah atau proletar. Termarginal dan tersisih sudah menjadi hukum alam dalam sebuah bangsa yang masih linglung lagi gagap dalam mempraktikan asas demokrasi yang konon katanya berpihak sepenuhnya kepada rakyat.
Sudah menjadi rahasia umum, para aparat poenegak hokum di negri ini bobrok dan memprihatinkan moralnya hingga masyarakat sinis dan mengeluh akibat banyak oknum hakim memenangkan pejabat penguasa dan orang berduit dalam berperkara di pengadilan. Nampaknya, jabatan sebagai titipan amanat rakyat sudah diselewengkan dengan melakukan berbagai pelanggaran rambu-rambu hukum dan etika. Akibat moral dan etikanya yang amburadul dan silau dengan gemerlap harta benda.
Akan sampai kapan bangsa ini terus menerus dihantam badai korupsi, kecurangan, penipuan, pemalsuan dan sebagainya?. Masyarakarak bukannya menjadi sejahtera malah kebalikannya semakin jauh dari kata makmur, sentausa, gemah ripah luhjinawi. Tragedy seperti ini ironisnya seperti mendapat restu oleh pemegang kekuasaan. Bagaimana tidak kasus yang mendera para pejabat Negara seakan sulit untuk diadili apalagi dijatuhi hokum. Benar-benar tragedy yang sangat bagi bangsa yang baru merangkak menuju kemajuan, bukan kemajuan yang didapat kemunduruan yang telak didapat.
Dari realitas yang paling dekat dengan mata masyarakat saja bisa dibilang begitu sangat timpang praktik penegakan hokum yang dirasakan masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh kasus pencurian beberapa buah jagung berujung pada jeruji sel yang begitu dingin dang mengerikan, pencuri ayam yang tidak jarang hingga babak belur meregang nyawa si pelaku, polisi tinggal diam dengan alasan polisi kalah cepat dengan massa, .
Ya, lagi- lagi memang Keadilan dan kebenaran hanya milik yang punya uang. Pedang hukum hanya tajam saat berhadapan dengan rakyat biasa, tetapi tumpul ketika menghadapi penguasa dan orang berduit. Kebobrokan, kebusukan, kebohongan, kemunafikan, kejahatan hukum seakan dimonopoli oleh penguasa, politisi busuk dan pengusaha hitam. Apakah ini yang diharapkan dari para leluhur dan funding fathers yang telah mendahului kita?. Tentu jawabanya adalah “tidak” pendahulu bangsa tidak mungkin rela rakyat menjerit dihimpit kemiskinan, ketidakadilan, dan perkosa hak- hak asasi mereka.
Dari Hulu ke Hilir
Dirasa ungkapan diatas tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa yang dirundung derita. Unkapan tersebut diletupkan oleh  Ketua KHN Prof JE Sahetapy SH bahwa pembasmian mafia peradilan tidak segampang seperti halnya membalik telapak tangan, pembersihan kata beliau harus dimulai dari sumbernya atau ibarat air hulu air sehingga ketika air itu mengalir ke hilir sudah bersih dari kotoran- kotoran yang menjangkitinya.
Bukan salah kalau orang banyak yang mengatakan bahwasanya pemerintah sangat buruk dan tebang pilih dalam menyelesaikan sebuah kasus. Tidak akan pernah selesai apabila MA sebagai lembaga yang seharusnya menjadi motor penggerak penegakan hokum masih kotor dan ikut- ikutan melakukan praktik perjokian dan menjadi mafia hokum. Maka dari itu menurut hemat saya paling tidak MA harus mulai melihat kondisi rumah tangganya sendiri sebelum bertindak lebih jauh. Apabila kedapatan personil MA melakukan praktik perjokian atau menjadi mafia hokum sesegera mungkin untuk dituntaskan sehingga lembaga- lembaga hokum yang lain akan dan harus mengikuti apa yang telah dicontohkanya.
Selain kelakuan hakim banyak yang bobrok, oknum jaksa dan polisi juga melakukan permainaan hukum dengan melakukan pemerasan dan menerima suap. Hal ini imbas dari ketidak tegasan para pejabat yang lebih tinggi atau berwenang dalam hal ini untuk mengusutnya yang masih mengadopsi budaya kikuh pekewuh, sungkan dan kekerabatan, sehingga pemberantasan korupsi, suap, pemerasan dan mafia hokum akan sangatlah sulit untuk diberangus. Namun juga tidak menutup kemungkinan untuk minimal bangkit dan kemudian melakukan pembenahan yang bersifat menyeluruh, dengan keyakinan dan semangat bahwa masih ada pejabat Negara dan penegak hokum  yang bersih dan peduli terhadap kemajuan bangsa yang tentunya dalam hal yang bersifat positi bukan kebalikannya.
KPK  dan sejumlah kasus korupsi
 politik telah menjadi panglima dalam penegakkan hukum”. Penggalan kalimat diatas sontak membuat hati masyarakat semakin menjerit dengan segala ketimpangan yang sedang dipraktikan oleh para pemegang kekuasaan. Seakan bermain sandiwara mereka bersama kroni- kroninya menjalankan scenario yang sudah jauh- jauh hari disusun dengan rapi gedung dewan dan istana jadi panggungnya.
Dari serentetan kasus yang melilit sejumlah pejabat hamper keseluruhannya berakhir abu- abu alias tidak jelas penyelesaiannya. Memang tidak semuanya namun sebagian besar mau tidak mau harus diakui hokum dan keadilan di negri ini belum berpihak kepada rakyat kecil. Keadilan menjadi hak mereka yang dekat dengan kekuasaan. Keadilan hanya bagi mereka yang mau menjilat dan bermain politik. Keadilan untuk mereka yang berani menggelontorkan sejumlah uang dibawah meja hakim. Dan keadilan tergadaikan oleh mereka yang suka bermain layaknya tikus- tikus kantoran.
Seolah tidak ada jalan lain untuk memperkaya diri mereka memilih untuk menelikung uang rakyat dari penyelewengan pajak dan menjadi makelar dari sejumlah kasus. Kalau tidak begini bukan politisi namanya. Politisi santun, pejabat jujur, hakim yang adil seolah sudah menjadi barang langka di negri ini. Karena kejujuran, keadilan dan sopan santun sudah tergadaikan oleh mereka.

Terkait tragedy moral dan etik yang sedang mendera bangsa ini KPK jangan hanya diam saja menjadi penonton, KPK harus menjadi actor utama dalam pemberantasan korupsi, suap, dan kasus- kasus lain yang berakibat kepada kerugian Negara.
Jangan hanya SBY yang hanya bilang berdiri didepan tetapi dalam segi praktisnya nihil atau politik bakul jamu saja besar dimulut kasiatnya nol. KPK bersama MA yang pada saat ini menjadi lembaga pemberantasan korupsi harus lebih gesit dan berani mengatakan serta bertindak di depan segala- galanya. Independensi harga mati korupsi harus dibasmi sudah menjadi tugas pokok Komisi ini.  Tentu kesemuanya itu tanpa ada dukungan dari masyarakat dan pemerintah tidak akan bias terwujud. Oleh sebab itu semua lembaga hokum tentunya harus mulai melakukan ruwatan missal terhadap jajarannya agar terhindar dari bahaya makelar kasus dan suap. Begitu juga pemerintah sebagai lembaga ekskutif  harus benar- benar  memperhitungkan aspek manfaat, transparansi dan efektifitas serta pemberdayaan atas segala bidangnya demi kredibilitas jajarannya. Penanaman moral dan nilai- nilai sopan santun, kejujuran, hormat menghormati dan sebagainya sejak dini harus diberikan kepada anak  sehingga ketika ia dewasa bisa mengaplikasikan nilai- nilai tersebut dengan mempertimbangkan kebersamaan, keberagaman, dan keharmonisan serta kemajuan nusa dan bangsa.

Mahasiswa Jurusan Tarbiyah
Fakultas Agama Islam 
 Universitas Muhammadiyah Surakarta

Jumat, 10 Juni 2011

Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah

Dalam satu dekade belakangan ini, nurani kita tercabik-cabik dan terharu-biru oleh maraknya aksi kekerasan yang brutal dan sadis berkedok agama. Kasus yang dengan telanjang menampilkan ulah bar-bar dan premanisme sebagaimana yang tertayang di layar kaca bukanlah karakter bangsa kita yang sesungguhnya. Kekerasan yang terjadi di Cikeusik atau Temanggung beberapa waktu yang silam, misalnya, makin membuka mata kita bahwa sakralitas makna “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”, diakui atau tidak, sudah mulai luntur. Dan ini, jelas menjadi perkara serius yang perlu segera dituntaskan sebelum akhirnya mewabah menjadi “penyakit sosial” yang bisa meluluhlantakkan basis keindonesiaan kita yang sejak dulu amat toleran terhadap perbedaan. Apalagi, kasus-kasus yang mencuat ke permukaan terkait langsung dengan masalah keyakinan, kepercayaan, atau agama yang menjadi salah satu hak dasar dan asasi setiap warga bangsa. Ini artinya, tak seorang pun yang berhak untuk mencampuri dan mengintervensi hak-hak setiap warga negara yang mendasar dan asasi itu.
Taruhlah keyakinan perorangan atau sekelompok orang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan “keyakinan” mainstream yang ada di negeri ini, tetapi tidak lantas berarti harus dituntaskan dengan cara-cara kekerasan yang justru amat bertentangan secara diametral dengan keyakinan agama apa pun. Bukankah setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang kepada sesama secara universal? Sungguh tidak bisa dipahami kalau pada akhirnya muncul “perilaku sesat” lewat tampilan preman dengan menenteng pentungan atau senjata tajam di ruang-ruang publik. Sungguh tidak bisa dimengerti kalau ada sekelompok orang yang berteriak di jalanan dengan menyebut-nyebut nama Tuhan, tetapi wajah mereka menunjukkan keangkuhan dan kegarangan dengan tangan menenteng senjata tajam berlumuran darah segar.
Dalam kondisi seperti itu, idealnya negara harus “hadir” di tengah kecamuk kekerasan yang membadai semacam itu. Namun, sayang sekali, negara melalui aparat yang berwenang dinilai selalu hadir terlambat sehingga kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk mencegah sejak dini. Sejak peristiwa berdarah Mei 1998, entah sudah berapa nyawa yang melayang sia-sia akibat praktik premanisme dan vandalisme berbau SARA. 
Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bahwa kekerasan berbau SARA yang seringkali terjadi di negeri ini merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat lemahnya pemaknaan terhadap perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai sebuah “rahmah”, tetapi justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang memicu tumbuhnya sikap fanatisme sempit. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai pihak lain yang mesti dimusuhi yang tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi agitasi dan provokasi. Imbas yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya orang yang tidak tahu apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam aksi-aksi premanisme yang tidak mereka sadari.
Dalam konteks demikian, dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah “rahmah”, melihat keberagaman sebagai pola perilaku yang khas di tengah-tengah negeri yang secara “sunatullah” memang telah “ditakdirkan” sebagai bangsa yang multibudaya. Sampai kapan pun, akar kekerasan akan menjadi ancaman laten selama nilai-nilai primordialisme dipahami secara naif dan sempit.
Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan yang “sadar budaya” semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural di sekolah. Di tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan kita. Banyak kalangan menilai, generasi Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah mengalami “gegar budaya”. Pada satu sisi, anak-anak muda yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan tak pernah berhenti mendapatkan asupan “gizi” tentang nilai-nilai keluhuran budi dan akhlakul karimah, tetapi pada sisi yang lain, mereka juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya berbagai perilaku anomali sosial, kerusuhan, dan kekerasan yang berlangsung vulgar dan telanjang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti itu, peserta didik mengalami “kepribadian yang terbelah”, sehingga tak jarang berada di persimpangan jalan ketika dihadapkan pada situasi yang saling kontradiktif.
Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa institusi pendidikan sebagai “kawah candradimuka peradaban” boleh bersikap abai dan melakukan pembiaran secara terus-menerus dan berkelanjutan terhadap perilaku generasi yang “gegar budaya” semacam itu. Melalui berbagai pendekatan dan model-model pembelajaran yang menarik, peserta didik perlu diajak berdiskusi, bersimulasi, dan berdialog bagaimana cara hidup saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat plural. Sekolah perlu di-setting dan didesain sebagai wadah simulasi terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan Indonesia yang serba-plural.
Pendidikan multikultural, dengan demikian, tidak cukup menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi perlu diimplementasikan secara integral ke dalam berbagai materi pembelajaran yang relevan dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada salahnya, peserta didik diajak berdialog dan belajar menumbuhkan kepekaannya terhadap kasus kekerasan yang terjadi. Bagaimana respon dan sikap peserta didik terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi bisa dijadikan sebagai masukan berharga dalam proses pembelajaran berbasis pendidikan multikultural. Guru perlu memberikan kebebasan kepada subjek didik untuk merespon dan menyikapinya, sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan sebagai sosok yang amat dibutuhkan kehadirannya dalam proses pembelajaran
Meskipun demikian, guru dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran perlu memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa dikonstruksi menjadi pengetahuan baru tentang nilai-nilai multikultural itu. Jika dikemas dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang “sadar budaya” sehingga mampu menyandingkan keberagaman sebagai kekayaan budaya bangsa yang perlu dihormati dengan sikap toleran, tulus, dan jujur. ***

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TANAMKAN SIKAP MENGHARGAI KEBERAGAMAN

[JAKARTA] Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.

"Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan," kata pengamat pendidikan prof Dr HAR Tilaar, kepada Pembaruan, di sela-sela seminar pendidikan multikultural, yang digelar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Kamis (16/11).

Selain HAR Tilaar, tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Guru Madrasah Ibtidaiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Yon Sugiono, dan Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Murniati Agustina.

Tilaar menjelaskan, banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah. "Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut," terang Tilaar.

Dijelaskan, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.

Hapus Diskriminasi

Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi," katanya.

Yon Sugiono menjelaskan, untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.

Pada model pendidikan ini, jelasnya, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. "Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa," katanya.

Sugiono menerangkan, metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung.

"Dari serangkaian implementasi program pengembangan model pendidikan multikultural di Madrasah Pembangunan UIN bisa diketahui beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya, toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri," katanya.

Sugiono menambahkan, program pendidikan multikultural dalam penerapannya saat ini bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, namun terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran, sehingga dalam implementasinya perlu dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan inovatif. "Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar," katanya.

Sementara itu, Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural untuk Anak Usia Sekolah PKPM Unika Atma Jaya Jakarta Muniarti Agustina menjelaskan, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak megembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter.

"Dengan begini, siswa juga memahami kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa ini. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik," katanya.

Dalam menggagas model ini, Muniarti memaparkan, PKPM Unika Atma Jaya Jakarta melakukan penelitian di 8 sekolah, antara lain, SDN Sunter Agung 03 Pagi, SDN Lebak Bulus 06, SD Andreas, Madrasah Pembangunan UIN Tangerang, dan SD Amanda (SD berbasis agama Budha).

Dikatakan, model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. "Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio visual. Karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural," katanya. (Adapated from Suara Pembaruan, 17 November 2006)

[yap/pr-11/2006]

Petak Umpet Ala Politisi Dalam pusaran korupsi


Oleh: Agus Mulyadi*

Akhir- akhir ini banyak media yang ramai membicarakan beberapa kasus yang menyeret sejumlah politisi. Sejak kasus misteri pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen dan kriminalisasi KPK yang kemudian diikuti sejumlah kasus korupsi dan suap yang meledak bak bom atom menghantam segala lini dan element bangsa. Dari kepolisian terseret seorang Susnoduaji , lembaga hokum diwakili salah satunya yang paling santer diberitakan Cirus Sinaga, Mahkamah Agung pun tak mau ketinggalan dalam hal ini Syarifuddin Umar diduga menerima suap  dalam beberapa kasus yang ditanganinya. Belum selesei kasus yang satu muncul beberapa kasus korupsi dan suap lainya, sebut saja kasus suap yang dilakukan oleh politisi muda Nazarrudin dari fraksi partai democrat yang begitu ramai diperbincangkan.

Hal ini bukan saja karena dia adalah anggota dewan namun lebih dari itu ia juga seorang yang mempunyai jabatan strategis dalam tubuh partai democrat tepatnya sebagai bendahara umum patrtai. Selain itu juga ternyata ia adalah seorang pengusaha kaya raya yang disebut- sebut pernah  menanamkan sahamnya bersama ketrua partai Anas Urbaningrum dan kakaknya Nazarrudin. Hal tersebut disinyalir menjadi alas an yang sangat kuat bagaimana dan kenapa kasus yang sedang menimpa salah satu kader partai democrat ini tidak juga menemui ujungnya. Sontak partai ini bisa dibilang partai yang paling sibuk pada saat ini untuk saling “bekerjasama” bahu membahu tolong menolong sesama kader yang sedang ditimpa kasus tersebut.

Bukannya segera menyelesaikan masalah ternyata pada tanggal 23 mei yang lalu bersama keluarganya telah meninggalkan Indonesia. Dikabarkan bahwa kepergian bendahara umum partai democrat ini tidak lain adalah untuk proses pengobatan atas sakit yang sedang dideritanya. Terlepas dari itu semua tetap kurang etis dikarenakan status dia pada saat itu adalah sedang tersangkut kasus suap sesmenpora dalam pembangunan wisma atlet di palembang. Sebagai seorang pejabat Negara bukanya menyelesaikan maslah yang melilit dengan begitu PEDEnya minta restu kepada dewan fraksi partai yang menaunginya untuk meninggalkan Indonesia. Dan yang mengherankan ternyata dewan fraksi partai democrat memberikan izin kepadanya dengan tidak mempertimbangkan sedikitpun kasus atau masalah yang sedang terjadi.

Hal ini sungguh begitu menyakitkan hati masyarakat, lagi- lagi satu dari pejabat yang terjerat kasus korupsi dan suap lari dengan meninggalkan rasa tanggung jwabnya terhadap bangsa. Tamparan keras seharusnya dirasakan oleh jajaran Pembina dan pimpinan partai democrat karena ia adalah salah satu kader yang besar dari partai tersebut. Namun pada kenyataannya diguibris pun tidak. Nazarrudin tetap belum mau kembali ke Indonesia atau malah sebaliknya tidak akan kembali ke Indonesia sebelum kasus yang menimpanya redup.

KPK kualahan menangani kasus Nazarrudin
Komisi pemberantasan korupsi (KPK) terlihat begitu lembek dan seakan kualahan menghadapi kasus bendum partai berkuasa tersebut. Hal ini terlihat dari upaya- upaya yang dirasa kurang begitu menggigit dan bersifat tegas. Nampak seperti ada tarik ulur antara pejabat berkepentingan dalam kasus ini. Bukan tidak mungkin pasalnya diawal- awal Nazarrudin sempat melontarkan statement yang bernada ancaman terhadap internal partai dan sejumlah pejabat.       

Bukan tidak mungkin juga hal ini yang menyebabkan kasus yang sedang menimpa Nazarrudin ini seolah dibiarkan berlarut- larut hingga rakyat terlena dan kemudian lupa begitu saja, atau banyak kalangan pejabat dan politisi keetar- ketir jikalau sang belut merasa terusik dan tidak nyaman lagi berada di dalam pusaraan kekuasaan akan meledakkan sejumlah kasus lain yang bisa saja melibatkan sejumlah politisi dan pejabat lain.

hanya dengan surat panggilan saja penulis pikir tidak akan bisa meluluhkan seorang Nazarrudin untuk segera mempertanggung jawabkan masalahnya. bisa jadi malah memberikan kesempatan kepada bendum partai demokrat ini bersama kroninya untuk menyusun setrategi jitu dan ciamik melepaskan diri dari jeratan kasus. dasar politisi selamanya tetap busuk dan akal- akalan saja. sengkuni tidak mungkin akan berpolitik dengan cara yang bersih kebalikannya sengkuni selamanya akan tetap licik dan tidak pernah memikirkan nasib rakyat.



Kamis, 09 Juni 2011

KONSEP DASAR PENDIDIKAN

Sumber: Presentasi Puskur pada Kegiatan Workshop TPK Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2008

1. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
2. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
3. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
4. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
5. Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan;
6. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan
7. Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
8. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
9. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
10. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
11. Jaringan Kurikulum merupakan suatu sistem kerja sama antara pusat dengan daerah, antardaerah, dan antar unsur di daerah dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan daerah.
12. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
13. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
14. Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.
15. Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.
16. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
17. Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
18. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
19. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
20. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan;
21. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
22. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
23. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
24. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
25. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
26. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
27. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
28. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
29. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
30. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
31. Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah
32. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
33. Penilaian kelas adalah suatu bentuk kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran tertentu
34. Penilaian kurikulum adalah suatu proses mempertimbangkan kualitas dan efektivitas program kurikulum
35. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
36. Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliable (ajeg) memungkinkan perbandingan yang reliable dan menjamin konsistensi. Misal, guru menilai suatu proyek, penilaian akan reliabel jika hasil yang diperoleh itu cenderung sama bila proyek itu dilakukan lagi dengan kondisi yang relatif sama. Untuk menjamin penilaian yang reliabel petunjuk pelaksanaan proyek dan penSkorannya harus jelas.
37. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus
38. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
39. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.
40. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
41. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
42. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
43. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
44. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
45. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
46. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
47. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
48. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
49. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
50. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
51. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
52. Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
53. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik .
54. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
55. Validitas berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Dalam menyusun soal sebagai alat penilaian perlu memperhatikan kompetensi yang diukur, dan menggunakan bahasa yang tidak mengandung makna ganda. Misal, dalam pelajaran bahasa Indonesia, guru ingin menilai kompetensi berbicara. Bentuk penilaian valid jika menggunakan tes lisan. Jika menggunakan tes tertulis penilaian tidak valid.

MEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA


Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

Reformasi Budaya
Bangsa kita tengah berada di persimpangan jalan. Kita hidup di tengah-tengah gelombang pengaruh kebudayaan dan peradaban yang demikian deras datangnya dari luar kehidupan kita sebagai akibat cepatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan terjadinya globalisasi dalam semua bidang kehidupan. Di tengah suasana yang demikian, bangsa kita melakukan upaya-upara reformasi atau pembaruan di segala bidang kehidupan bernegara. Kita usung tema reformasi total sebagai jawaban atas kejenuhan dan kekecewaan kita kepada sistem kekuasaan yang kita warisi dari zaman Orde Baru yang tidak memberikan jaminan atas kebebasan individu warga, dan tidak berhasil mewujudkan impian-impian kita tentang keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Untuk mengatasi segala kelemahan, kekurangan, keburukan, dan bahkan segala sesuatu yang kita persepsikan sebagai kegagalan pemerintahan Orde Baru itu bangsa kita telah memilih jalan dengan menata kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis dan mempertegas komitmen normatif bangsa kita untuk mengembangkan prinsip negara hukum yang menjamin kebebasan dan hak asasi manusia, serta janji kesejahteraan yang lebih merata, semata-mata untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itulah selama 12 tahun terakhir kita telah menata ulang secara besar-besaran postur dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan kita, mekanisme penyelenggaraannya yang diharapkan lebih berubah semakin modern, transparan dan akuntabel. Kita mengubah institusi-institusi kenegaraan dan pemerintahan itu, mulai dari lembaga yang semula paling tinggi kedudukannya, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sampai ke institusi pemerintahan desa dan kelurahan-kelurahan di lingkungan perkotaan. Kita juga sudah melakukan merombakan sistem hukum dan perundang-undangan kita secara besar-besaran, mulai dari hukum tertinggi, yaitu konstitusi sampai ke peraturan-peraturan daerah dan bahkan peraturan-peraturan desa. Semuanya berubah dengan sangat cepat dan sangat mendasar. Dengan demikian, di tengah-tengah gelombang perubahan yang sedang terjadi di dunia dimana bangsa kita dipengaruhi secara sangat luas dan mendasar di segala bidang, kita pun mengadakan perubahan-perubahan mendasar dalam waktu yang sangat singkat, tanpa persiapan budaya yang dapat dikatakan matang. Perubahan-perubahan bersifat sangat struktural dan instrumental yang tentunya dapat dipakai untuk melakukan fungsi perekayasaan masa depan bangsa ke arah idealitas yang dikehendaki bersama.

Namun, di tengah perubahan-perubahan mendasar itu, dimensi kebudayaan dan tuntutan akan kualitas sumber daya manusia yang akan diandalkan dapat dikatakan tertinggal. Perubahan demi perubahan mendasar tersebut di atas tidak diiringi oleh perubahan kualitas individu manusia dan kolektifitas budaya yang sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan. Institusi-institusi baru lebih diharapkan lebih baik telah kita dirikan, tetapi cara berpikir dan bekerja manusia yang diharapkan menggerakkan masih terbelakang dan dikungkung oleh pengaruh tradisi yang diwarisi dari masa-masa yang lalu. Ide-ide baru telah banyak pula kita adopsi dan kita tuangkan menjadi materi-materi peraturan perundang-undangan yang kita percaya akan membawa hasil yang serba luhur dan mulia, tetapi manusia-manusia yang diharapkan akan menjalankannya rupanya sebagian terbesar masih terperangkap dengan sikap-sikap dan perilaku lama. Dengan demikian, kita terus menerus menyaksikan adanya kesenjangan yang akut antara institusi dan instrumen aturan di satu pihak dengan kebiasaan dan tradisi di pihak yang lain.

Jawabannya tentu tiada lain adalah bahwa di masa mendatang kita memerlukan reformasi lanjutannya, yaitu reformasi budaya atau reformasi kebudayaan. Sejak tahun 1998 kita telah memulai agenda reformasi politik dan birokrasi, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Sekarang atau setidaknya mulai tahun 2014 nanti, kita harus menggerakkan reformasi lanjutan, yaitu reformasi kebudayaan. Reformasi budaya itu tentu harus kita mulai dengan persoalan kualitas manusia, yaitu manusia ideal yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu cita-cita kehidupan bangsa yang cerdas. Agar menjadi cerdas, maka manusia dan bangsa Indonesia haruslah terdidik dengan baik, yaitu melalui pendidikan yang bermutu, relevan, dan merata. Pendidikan nasional yang diselenggarakan untuk itu, menurut Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, tidak lain adalah pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, agar menjadi cerdas, pertama-tama manusia Indonesia itu haruslah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehingga tujuan untuk menguasai, mengembangkan, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hendak dicapai oleh dan dari setiap kegiatan pendidikan dapat didampingi secara seimbang oleh penghayatan, pemahaman, dan pengamalan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang secara konkrit tercermin dalam perilaku luhur dan akhlak mulia dalam semua bidang kehidupan sehari-hari.

Pendidikan Watak atau Karakter
Apakah pendidikan nasional yang kita selenggarakan sampai sekarang ini sudah menjamin perwujudan ide mengenai keseimbangan imtak dan iptek serta prinsip-prinsip akhlak mulia itu dalam praktik? Menurut saya, hal itu benar-benar belum tercermin. Pendidikan kita selama ini sama sekali tidak atau belum berhasil membantu agar manusia Indonesia dan bangsa kita menjadi cerdas dalam pengertian seperti tersebut di atas. Pendidikan kita masih terlalu bersifat kognitif dengan orientasi konten yang dari waktu ke waktu terus menerus dibebani titipan oleh aneka kepentingan dari sekeliling. Dalam kenyataan, taksonomi Bloom yang menggambarkan adanya tiga elemen pokok dalam pendidikan, yaitu aspek-aspek affective, cognitive, dan psychomotoric tidak lah berkembang secara seimbang antara satu dengan yang lain. Pendidikan kita tidak berhasil membentuk sikap dan karakter, dan tidak juga membangun kapasitas kemampuan teknis untuk melakukan menerapkan pengetahuan dan sikap-sikap yang dimiliki dalam praktik.

Sampai sekarang pendidikan kita masih terus berorientasi kepada ‘konten’ pengetahuan. Memang benar kebijakan kirukulum kita sudah sejak lama diubah dari orientasi konken (content-base curriculum) ke kompetensi (competence-base curriculum). Namun dalam praktik orientasi konten atau orientasi kepada materi muatan pengetahuan, terus saja dipraktikkan. Bahkan, setiap muncul kritik akan kinerja pendidikan, selalu muncul tawaran yang dianggap solusi yang baik, yaitu penambahan jam pelajaran atau penambahan mata pelajaran yang dinilai sangat penting. Padahal, pengetahuan dan ilmu pengetahuan dewasa ini terus berkembang sifatnya akibat teknologi informasi dan komunikasi yang dipraktikkan secara luas. Informasi pengetahuan mengalami proses globalisasi yang cepat dan memudahkan bagi siapa saja untuk menguasainya. Karena itu, pola-pola pendidikan dan pengajaran yang berorientasi penguasaan konten atau materi ilmu pengetahuan haruslah mengalami perubahan secara mendasar. Kita tidak lagi memerlukan peran guru sebagai narasumber. Guru cukup berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing teknis cara mencari dan memahami informasi pengetahuan itu melalui sarana teknologi komunikasi dan informasi modern.

Dengan demikian, yang harus kita andalkan dari peran guru di masa mendatang adalah keteladanan dan kepemimpinannya dalam membawakan suasana belajar di kelas dan di luar kelas yang tidak berorientasi konten. Guru harus menjadi teladan, membimbing, dan mengarahkan tuntunan sikap dan akhlak mulia untuk membentuk kepribadian dan watak atau karakter, sekaligus kemampuan-kemampuan teknis bagi para peserta didik. Karena itu, orientasi pendidikan kita haruslah mengutamakan aspek-aspek afektif dan psikomotorik, dan bukan kognitif yang dapat dicari sendiri oleh para peserta didik. Yang penting ada dalam diri setiap peserta didik adalah sikap, karakter dan motivasi yang kuat disertai kemampuan teknis untuk mencari, menermukan, mengumpulkan, memahami, dan menguasai segala informasi ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup, bekerja, dan untuk bertindak dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi dan kualitas hidup bersama dalam masyarakat dan bangsa kita sekarang dan di masa datang.

Dalam pembentukan watak atau karakter dan peningkatan kemampuan-kemampuan bertindak atau beraksi, tentu saja diperlukan penguasaan banyak informasi pengetahuan. Akan tetapi di samping informasi pengetahuan, yang jauh lebih penting lagi adalah pengaruh keteladanan dan hasil tempaan pengalaman praktik. Oleh sebab itu, pendidikan karakter haruslah berorientasi pada pengalaman praktik, pada proses kegiatan, bukan pada output atau hasil, pada nilai ujian, pada ‘ranking’ prestasi akademis, dan sebagainya. Pendidikan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh keteladanan yang ada di lingkungan belajar, dan pengalaman praktik dan pengalaman bekerja yang dialami langsung oleh para peserta didik. Untuk itu, perlu dipikirkan kemungkinan mengubah format pendidikan agama, misalnya, tidak lagi berorientasi konten dan output yang diukur dengan jumlah jam pelajaran dan dengan hasil ujian. Pendidikan agama lebih baik dilakukan melalui praktik kegiatan untuk sholat berjamaah, misalnya, untuk berperilaku mulia dalam bertutur kata dan dalam bersikap terhadap guru, terhadap teman, terhadap tetangga, dan sebagainya. Untuk ekstrimnya, jika sekiranya kegiatan-kegiatan demikian dapat diintensifkan dengan efektif dan para guru benar-benar dapat dijadikan teladan untuk itu, maka dapat saja mata pelajaran agama secara formal ditiadakan sama sekali.

Sudah barang tentu, pendidikan watak itu tidak hanya perlu dan tidak dapat hanya dilakukan di dalam kelas. Ada banyak aktor dan faktor berpengaruh yang harus diperhitungkan. Di luar kelas, kita menemukan dunia tontonan melalui media televisi dan media elektronik, dan media lainnya. Di luar kelas, kita juga terlibat dalam lingkungan kerja dan lingkungan pergaulan. Di luar kelas, kita hidup dalam keluarga yang memberikan kepada setiap peserta didik “field of experience” yang dapat membentuk “frame of reference” dalam diri setiap peserta didik. Karena itu, perlu pengaturan yang bersifat sistemik dan terintegrasi antar semua aktor dan faktor di atas untuk merekayasa suatu arah pendidikan watak, pendidikan karakter, yang kita cita-citakan bersama bagi bangsa ke menuju masa depan.

Pendidikan Aksi
Watak, karakter, dan kepribadian bagaimana juga terbentuk melalui pengalaman. Itulah sebabnya prinsip ‘learning by doing’ menjadi sangat penting. Pengetahuan yang kita peroleh dari bacaan biasanya hanya bersifat kognitif, hanya mengandung dimensi reflektif. Akan tetapi, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman praktik berdimensi reflektif dan sekaligus aktif. Seperti dikemukakan oleh Paulo Freire dalam “Paedagogy of the Oppressed”, perubahan selalui dimulai dari sebuah kata. Akan tetapi, menurutnya, kata yang baik dan efektif untuk itu haruslah mengandung 2 dimensi sekaligus, yaitu refleksi (reflection) and aksi (action).

Jika kata hanya berisi refleksi, pengertian, dan pemahaman saja, maka kata yang demikian itu jika dikuasai hanya akan menghasilkan verbalisme. Seseorang yang banyak tahu secara kognitif, hanya menguasai dimensi refleksi dari kata-kata, akan menjadi orang yang verbalis, NATO atau “Never Action, but Talking Only”. Tetapi sebaliknya, jika kata hanya berisi aksi atau berisi tindakan, maka kata yang demikian itu hanya akan menghasilkan aktivisme, yaitu aktivisme tanpa perenungan, tanpa pemahaman dan pengertian. Aktifitas yang lahir dari sikap aktifisme seperti itu akan menjadi aktifitas tanpa jiwa dan tanpa kedalaman makna.
Karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep ‘fraksis’ (praxis) sebagai gabungan dari dimensi releksi dan aksi itu dalam kata (word). Fraksisiologi kata itulah yang penting kita wujudkan dalam pendidikan, yaitu pendidikan ‘kata-kata’ yang menyatu dengan tindakan-tindakan aksi. Pendidikan teoritis yang diikuti oleh praktik. Pendidikan di dalam kelas diiringi dengan pendidikan di lapangan. Pendidikan verbal dengan bertutur kata baik secara lisan ataupun tulisan yang diiringi dengan pendidikan melalui kerja, melalui pengalaman, ‘learning by doing’. Melalui pengalaman praktik yang demikian itu, pengetahuan tidak hanya akan menghasilkan refleksi, tetapi juga mengandung aksi.

Untuk itulah, maka proses belajar mengajar yang kita terapkan di sekolah dan di perguruan tinggi dewasa ini sudah semestinya dievaluasi dengan sungguh-sungguh. Jangan menjadikan peserta didik kita hanya pandai berkata-kata tetapi tidak pandai mewujudkan kata-kata itu dalam kenyataan praktik. Revolusi, hanya dapat dilakukan dengan kata-kata yang menurut Freire mengandung aksi, yaitu kata-kata yang praksis, bukan yang verbalis ataupun sekedar aktifistis.

Pencerahan Budaya dan Peradaban
Pendidikan watak atau pendidikan karakter itu sangat menentukan kualitas peradaban bangsa kita di masa depan. Pendidikan karakter akan membantu kita membuka pintu pencerahan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Arus informasi pengetahuan yang bergerak luas di dunia maya akan sangat mudah dikuasai oleh siapa saja yang tercerahkan (enlightened personalities). Semakin banyak, luas, dan mendalam informasi dikuasai oleh anak bangsa kita, makin besar pula potensi bangsa kita untuk maju dan berperan aktif dalam pergaulan antar peradaban modern.

Indonesia adalah negeri dengan penduduk keempat terbesar di dunia dan hidup di wilayah benua maritime yang sangat kaya dari semua aspeknya. Jika kita tidak tertinggal, maka bersamaan dengan terus meningkatnya kualitas sumber daya manusia di seluruh dunia, sudah tentu pada saatnya Indonesia akan berkembang menjadi salah satu kiblat peradaban umat manusia. Untuk itulah maka kita memerlukan upaya-upaya pencerahan dalam membentuk kepribadian, watak, dan karakter generasi muda sekarang agar menghasilkan insan-insan unggulan di segala bidang. Untuk itu, bangsa kita memerlukan strategi pembangunan pendidikan nasional yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan kebutuhan demikian itu. Strategi pendidikan nasional yang kita praktikkan sekarang memerlukan reformasi yang mendasar dan bahkan boleh jadi bersifat radikal sehingga dapat membuka optimisme ke arah perbaikan yang berarti di masa mendatang.

Untuk itu, kita perlu menyampaikan harapan, kiranya kaum cerdik cendekia dan khususnya para ahli pendidikan dapat memikirkan pelbagai altenatif solusi dalam memperbaiki sistem pendidikan nasional kita dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan kita dalam arti sempit, dan integrasi sistem pendidikan dalam arti luas dengan melibatkan semua actor dan factor yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa.

Rabu, 01 Juni 2011

Kompetensi Guru dan Guru berkompeten

Oleh: Agus Mulyadi
Banyak orang menafsirkan guru sebagai sosok  yang harus digugu dan ditiru. Maksudnya adalah bahwa segala tutur katanya, segala anjurannya segala nasihat – nasihatnya harus benar – benar dapat dipercaya dan menjadi pedoman serta contoh bagi seluruh anak didiknya dan orang lain yang terlibat langsung didunia pendidik. 
Seperti apa yang dikatakan oleh M. Athiyah Al – Abrasyi salah satu tokoh pendidikan guru tidak lain adalah : ’’ Spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, ialah yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pendidik akhlak dan membenarkannya, maka menghormati guru berarti penghormatan kepada anak-anak kita, menghhargakan guru berarti penghargaan terhadap anak – anak kita, dengan guru itulah mereka hidup danberkembang, sekiranya setiap guru itulah mereka hidup dan berkembang sekiranya setiap guru itu menunaikan tugasnya dengan sebaik – baiknya’’. Bearangkat dari ungkapan Athiyah tersebut berarti menjadi seorang guru konsekuensi logisnya adalah harus mampu senantiasa memberikan contoh moral dan nilai-nilai kebijakan dalam keseharian.
Seseorang merasa terpanggil akan profesinya sebagai guru, ia akan memandang dan berasumsi bahwa jabatan guru merupakan suatu karir dan harus dikembangkan secara terus menerus. Ia akan mempunyai komitmen dan kepedulian terhadap jabatan guru tersebut. Keikhlasan dan kejujuran seseorang guru didalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik kearah suksesnya tugas pengajaran. Terlebih dalam hal penanaman moral dan budi pekerti yang luhur.
Didalam mengajar, hendaknya guru dapat membangkitkan perhatian anak terhadap pelajaran yang diberikan. Guru harus berjiwa lembut dan berlapang dada, penuh keutamaan dan mempunyai sifat terpuji. Sebaiknya guru dalam mengajarkan ilmu pengetahuan tidak mengacaukan pandangan murid dengan ilmu-ilmu yang tidak diajarkan. Oleh karena itu maka diharapkan guru agama tetap menjaga kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Demikian halnya krisis guru agama dewasa ini bisa dikatakan bahwa institusi pendidikan telah gagal mencetak guru-guru handal yang mempunyai kompetensi- kompetensi sebagai seorang pendidik, pengarah dan pembimbing anak didik.
Banyak contoh kasus yang bisa menjadi cerminan kita bersama dalam hal ini. Sebut saja kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum atau institusi pendidikan di banten, kenakalan remaja di bandung yang semakin menjadi, pergaulan bebas ala pelajar sampai guru cabul. Potret demikian ini menjadikan hati masyarakat miris nyaris menangis mendengarnya. Memang menjadi seorang guru tidaklah mudah terlebih guru agama, namun hal ini tidak kemudian menjadi alibi untuk tidak melakukan koreksi dan evaluasi yang mendasar. apakah memang sudah sebrobrok ini kualitas guru dan tenaga pendidik kita? Tentu bukan ini yang kita harapkan, fenomena yang muncul harus segera dicarikan solusi dan tindakan-tindakan yang bersifat nyata kalau perlu reformasi dan refolusi dunia pendidikan lazim dilakukan.
Guru Berkompeten
Mendesak. Dirasa kata yang sangat pas untuk kasus yang sekarang sedang melanda bumi Surakarta. Pasalnya guru PAI yang digadang-gadang sebagai agen Purifikasi moral dan etika di negri Surakarta ternyata sudah sampai kepada titik nadir. Akibatnya banyak guru yang rata-rata berusia 50 tahun keatas yang seharusnya sudah menikmati masa pensiunnya masih terlihat tetap mengajar di sekolah. Padahal sudah seharusnya mereka mewariskan dan digantikan oleh mereka yang notabene lebih muda. Bukan berarti muda minim pengalaman dan kurang wawasan akan tetapi muda dalam berfikir, berkreasi, dan berkompetensi.
Seperti yang telah diungkapkan kemenag Ahmad Nasirin bahwasanya rasio untuk kualifikasi guru agama dikota solo tidak sebanding dengan jumlah siswa baik sekolah swasta maupun negri. Pernyataan tersebut spontan menjawab dari keraguan dan kegelisahan yang sudah penulis singgung di muka.
 Institusi sekolah bekerjasama dengan pemerintah dan dinas pendidikan kota Surakarta seharusnya dengan tanggap dan cepat melakukan usaha-usaha yang sifatnya konkrit dan nyata untuk menanggulangi ancaman tersebut. Hal ini akan menambah daya tawar dinas pendidikan dan kementrian agama kota solo jika mereka bergegas menyelesaikan masalah tersebut. Semua tentunya tidak ingin jika kota Surakarta yang dikenal sebagai pioneer sekaligus pelopor lahirnya ulama mengalami krisis guru agama. Maka dari itu diharapkan pemerintah kota Surakarta bersama kementrian agama dan dinas pendidikan segera memberikan jawaban dengan langkah-langkah yang realistis, konkrit dan rasional.
Dalam hal ini tentunya harus melihat kualitas juga dalam usaha peningkatkan mutu pendidikan selain kuantitas. Untuk itu perlu diadakan system perekrutan yang disesuaikan kebutuhan. Kompetensi sebagai seorang guru harus tetap diutamakan, sebab akan menjadi hal yang sia-sia jika guru yang akan mengampu ternyata tidak memenuhi standar sebagai seorang guru, lebih-lebih guru agama.
Untuk itu sekolah segera melakukan seleksi dan penyaringan calon guru yang akan diajukan kepada dinas pendidikan kota Surakarta dengan sekali lagi mempertimbangkan kemampuan dan kompetensi guru. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa peran guru agama memang sangat urgen untuk menanamkan nilai-nilai agama seperti; sopan santun, menghormati, menghargai dan sebagainya itu lebih banyak terkandung dalam pelajaran-pelajaran agama.
Kompetensi merupakan salah satu kualifikasi guru yang terpenting. Bila kompetensi ini tidak ada pada diri seorang guru, maka ia tidak akan berkompeten dalam melakukan tugasnya dan hasilnya pun tidak akan optimal. Dalam syari.at Islam, meskipun tidak terpaparkan secara jelas, namun terdapat hadits yang menjelaskan bahwa segala sesuatu itu harus dilakukan oleh ahlinya (orang yang berkompeten dalam tugasnya tersebut). Artinya : .Dari Abu Hurairah r.a, Ia berkata. Rasulullah SAW bersabda: Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya. (H.R Bukhori)
Dari hadits ini, dijelaskan bahwa seseorang yang menduduki suatu jabatan tertentu, meniscayakan mempunyai ilmu atau keahlian (kompetensi) yang sesuai dengan kebutuhan jabatan tersebut. Hal ini sejalan dengan dengan pesan kompetensi itu sendiri yang menuntut adanya profesionalitas dan kecakapan diri. Namun bila seseorang tidak mempunyai kompetensi dibidangnya (pendidik), maka tunggulah saat-saat kehancurannya.
Terlebih lagi bagi seorang guru agama, ia harus mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan guru-guru lainnya. Guru agama, disamping melaksanakan tugas keagamaan, ia juga harus bisa melaksanakan tugas pendidikan dan pembinaan bagi peserta didik, ia membantu pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak disamping menumbuhkan dan mengembangkan keimanan dan ketaqwaan para siswa. Dengan tugas yang cukup berat tersebut, guru Pendidikan Agama Islam dituntut untuk memiliki keterampilan profesional dalam menjalankan tugas pembelajaran.
Dengan komptensi yang dimiliki, selain menguasai materi dan dapat mengolah program belajar mengajar, guru juga dituntut dapat melaksanakan evaluasi dan pengadministrasiannya. Kemampuan guru dalam melakukan evaluasi merupakan kompetensi guru yang sangat penting. Evaluasi dipandang sebagai masukan yang diperoleh dari proses pembelajaran yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan berbagai komponen yang terdapat dalam suatu proses belajar mengajar.
 Sedemikian pentingnya evaluasi ini sehingga kelas yang baik tidak cukup hanya didukung oleh perencanaan pembelajaran, kemampuan guru mengembangkan proses pembelajaran serta penguasaannya terhadap bahan ajar, dan juga tidak cukup dengan kemampuan guru dalam menguasai kelas, tanpa diimbangi dengan kemampuan melakukan evaluasi terhadap perencanaan kompetensi siswa yang sangat menentukan dalam konteks perencanaan berikutnya, atau kebijakan perlakuan terhadap siswa terkait dengan konsep belajar tuntas. Atau dengan kata lain tidak ada satupun usaha untuk memperbaiki mutu proses belajar mengajar yang dapat dilakukan dengan baik tanpa disertai langkah evaluasi.
Terakhir penulis katakana bahwasanya memang pada saat ini kebutuhan akan guru agama sangat mendesak, namun dengan tetap melihat kompetensi sebagai seorang guru baik kompetensi yang bersifat kepribadian, social maupun keadministrasian yang akan membawa dunia pendidikan lebih maju dan baik.

Mahasiswa Fakultas Agama Islam Jurusan Tarbiyah/ UMS